Pada dasarnya, Hermeneutika berusaha memahami apa yang dikatakan dengan kembali pada motivasinya atau kepada konteksnya, diperlukan konsep kuno yang bernama “kata batin” (inner word). Hermeneutika, dalam bahasa Inggris adalah Hermeneutics, berasal dari kata Yunani Hermeneutine dan Hermeneia yang masing-masing berarti “menafsirkan dan “penafsiran”. Istilah ini didapat dari sebuah risalah Aristoteles yang berjudul Peri Hermeneias (Tentang Penafsiran). Hermeneutica juga bermuatan pandangan hidup dari penggagasnya.
Dalam tradisi Yunani, istilah Hermeneutika diasosiasikan dengan Hermes (Hermeios), seorang utusan dewa dalam mitologi Yunani kuno yang bertugas menyampaikan dan menerjemahkan pesan dewa ke dalam bahasa manusia. Menurut mitos itu, Hermes bertugas menafsirkan kehendak dewata (Orakel) dengan bantuan kata-kata manusia.
Tiga makna Hermeneutika yang mendasar yaitu:
Dalam tradisi Yunani, istilah Hermeneutika diasosiasikan dengan Hermes (Hermeios), seorang utusan dewa dalam mitologi Yunani kuno yang bertugas menyampaikan dan menerjemahkan pesan dewa ke dalam bahasa manusia. Menurut mitos itu, Hermes bertugas menafsirkan kehendak dewata (Orakel) dengan bantuan kata-kata manusia.
Tiga makna Hermeneutika yang mendasar yaitu:
1). Mengungkapkan (to say)
2). Menjelaskan (to explain)
3). Menerjemahkan (to translate)
Tiga pengertian tersebut terangkum dalam pengertian ”menafsirkan” (interpreting-understanding). Dengan demikian, Hermeneutika merupakan proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti. Definisi lain, Hermeneutika adalah suatu metode atau cara untuk menafsirkan simbol berupa teks untuk dicari arti dan maknanya, metode ini mensyaratkan adanya kemampuan untuk menafsirkan masa lampau yang tidak dialami, kemudia di bawa ke masa depan.
Tugas utama Hermeneutika adalah memahami teks sebaik atau bahkan lebih baik daripada pengarangnya sendiri dan memahami pengarang teks lebih baik daripada memahami diri sendiri. Akhir-akhir ini di kalangan kaum muslimin -terutama kaum modernis- telah banyak memanfaatkan Hermeneutika sebagai salah satu instrumen untuk menggali isi dan kandungan al-Qur'an. Penggunaan lmu tersebut dalam penafsiran al-Qur'an ada yang menempatkannya sebagai komplemen dan ada pula yang menempatkannya sebagai sublemen. Penggunaan Hermeneutika dalam dunia penafsiran al-Qur'an adalah hal baru yang belum pernah dilakukan oleh para mufassir terdahulu.
Dalam tradisi keilmuwan Islam, telah mengenal ilmu tafsir yang berfungsi untuk menafsirkan al-Qur'an, sehingga ilmu ini dianggap telah mapan dalam bidangnya. Dari segi epistemologi dan metodologi, ilmu ini telah diakui mampu mengemban tugasnya untuk menggali kandungan al-Qur'an. Pada awal abad ke-20 beberapa mufassir seperti, Muhammad Abduh dalam tafsirnya al-Manar telah menggunakan ilmu ini dalam praktek penafsiran ayat-ayat al-Qur'an, yang walaupun dia belum secara eksplisit memproklamirkan penggunaan Hermeneutika dalam penafsiran. Penggunaan Hermeneutika dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur'an mendapat tanggapan yang beragam dari para ulama dan cendekiawan muslim. Ada yang menyetujuinya dan ada pula yang menolaknya.
Kami tidak tau menau dari apa sebenarnya yang ingin dilakukan Hermeneutika terhadap teks al-Qur'an (pada khususnya), karena semenjak kami mempelajari materi ini kami tidak pernah tau ending process dari materi ini, apakah terhadap teks al-Qur'an atau teks dalam pengertian luasnya?
Namun, jika jawabannya memang sebagai mintra tafsir al-Qur'an yang akan mengkaji al-Qur'an, maka kita sebagai umat Islam haruskah menerima Hermeneutika dalam penafsiran al-Qur'an, termasuk pemikiran Gadamer, yang akan memunculkan sikap syak (ragu) pada setiap kebenaran al-Qur'an? Dia berpendapat, bahwa tidak ada kebenaran yang objektif, sebab jika ada ia harus terukur oleh ruang dan waktu. Dalam pandangannya, rasio pemahaman apapun atas sebuah riset pasti mengandung sebuah rejudice. Baginya, kebenaran hanyalah merupakan khayalan dan rekayasa, bukan merupakan penemuan.
Sementara itu, al-Qur'an adalah kitab suci yang merupakan firman Allah SWT. Padanya terdapat petunjuk dan hidayah bagi seluruh umat manusia. Al-Qur'an, baik dari segi bahasa maupun isinya mengandung mukjzat. Seluruhnya haq dan setiap muslim harus menerimanya dengan tanpa keraguan. Jika kita menerima Hermeneutika sebagai instrumen untuk menefairkan al-Qur'an, maka keyakinan tersebut akan runtuh. Sebagai contoh, jika kita menerima teori Critical Hermeneutika-nya Habermas, kita dituntut untuk bersikap kritis dan curiga pada setiap teks. Sikap ini jelas-jelas tidak bisa diterapkan untuk pencipta al-Qur'an.
Selain itu juga, implementasi Hermeneutika di dunia Barat digunakan untuk mencari orsinialitas kitab suci mereka. Mereka menemukan teks kitab suci yang sangat beragam, sehingga mereka perlu mencari, mana dari semua itu yang asli dan paling benar. Sedangkan penggunaan Hermeneutika dalam dunia keilmuwan Islam, apakah masih diperlukan yang seharusnya sudah tidak terdapat lagi keraguaan dalam al-Qur'an sebagai kitab suci. Karena, apakah Hermeneutika masih layak diterapkan sebagai metode tafsir al-Quran? masih debatable.
Apakah mungkin menggunakan pisau dapur untuk memotong baja?
0 comments:
Post a Comment