deskripsi gambar
WHAT'S NEW?
Loading...

Tafsir bi al-Ra’y: Problem Subjektivitas dalam Kerja Penafsiran Al-Qur’an

Al-Qur’an adalah objek interpretasi yang menarik untuk selalu didialogkan. Berbagai macam penafsiran tidak berhenti sejak kelahirannya hingga saat ini. Ada banyak metode atau pendekatan yang disematkan pada al-Qur’an untuk menguak makna dan mengkaji dirinya, namun usaha-usaha demikian tidak pernah dirasa cukup untuk mewakili kalam Tuhan, al-Qur’an. Dalam berbagai literatur ulûm al-Qur’an telah dicatatkan, al-Qur’an telah ditafsirkan dengan metode tahlili, ijmali, muqarn, dan maudlu’i dengan pendekatan atau corak yang bervariasi, mulai dari corak fiqhi, falsafi, adabi ijtima’i, sufi, hingga tafsir ‘ilmi.
Pada periode awal, hingga abad ke II H., tafsir lebih didominasi dan berorientasi pada periwayatan, sehingga upaya memahami al-Qur’an dengan menggunakan ra’yu (akal) cenderung dibenci dan dijauhi.[1] Di sisi lain, upaya menafsirkan al-Qur’an dengan tidak menggunakan akal (tafsir bi al-ra’y atau tafsir bi al-Ma’qûl) merupakan salah satu upaya para sahabat Nabi dalam tetap mempertahankan purifikasi al-Qur’an, serta dalam rangka berhati-hati terhadap pemahaman yang salah dalam memahami al-Qur’an.
Sebagaimana yang ditulis oleh Quraisy Syihab, beliau menyimpulkan bahwa yang mengakibatkan kekeliruan dalam penafsiran al-Qur’an –di antaranya– adalah subjektifitas mufassir.[2] Diakui atau tidak, kecerdasan intelektual atau background pendidikan, kondisi sosial, politik dan hawa nafsu masing-masing mufassir akan cenderung muncul ketika berhadapan dengan teks-teks al-Qur’an.
Tafsîr bi al-ra’y dan subjektifitas serta otentisitas (ashîl) penafsiran mengundang banyak kontroversi. Mufassir dan buah karya tafsirnya sebagai sorotan utama untuk menguji validitas dan otentisitas penafsiran. Namun, sebelum melangkah jauh terhadap berbagai permasalah di atas, terlebih dahulu kita harus memahami –dengan benar– makna tafsîr bi al-ra’y.

A.  Pengertian Tafsir bi al-Ra’y
Istilah tafsîr bi al-ra’y adalah suatu penafsiran yang didasarkan pada ijtihad yang benar dan metodologi yang benar pula, bukan didasarkan pada opini semata, hawa nafsu dan atau kesewenang-wenangan mufassir.[3]Sedangkan makna al-ra’yu dalam tinjauan etimologi (bahasa) memiliki akar kata dari ra’a, yara, ra’yan, ru’yatan. Memiliki kata jamak ârâ’un atau ar’â’unyang bisa berarti pendapat, opini berfikir tentang dasar sesuatu (al-fikr), keyakinan (al-I’tiqâd), analogi (al-qiyâs), atau ijtihad. Kaitannya dalam bentuk penafsiran al-Qur’an, al-tafsîr bi al-ra’y sering disebut juga dengan istilah al-tafsîr bi al-dirâyahal-tafsîr bi al-ma’qûlal-tafsîr al-‘aqliy, atau al-tafsîr al-ijtihâdiy.[4]
Secara terminologi (istilah) bisa didefinisikan sebagaimana pendapat al-Dzahabi, bahwa tafsir bi al-ra’y adalah tafsir yang penjelasannya diambil berdasarkan ijtihad dan pemikiran mufassir setelah terlebih dahulu mengetahui bahasa Arab serta metodenya, dalil hukum yang ditunjukkan, serta problema penafsiran seperti asbâb al-nuzûl, al-nâsikh wa al-mansûkh,dan seperangkat metodologi penafsiran yang harus ada pada diri seorang mufassir.[5]
Dari pengertian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa tafsir bi al-ra’y adalah metode tafsir dengan menggunakan kekuatan akal pikiran seorang  mufassir yang sudah memenuhi syarat dan memiliki legitimasi dari para ulama untuk menjadi seorang mufassir, namun penafsirannya harus tetap selaras dengan hukum syari’ah, tanpa ada pertentangan sama sekali.

B.  Macam-Macam Tafsir bi al-Ra’y
Tafsir bi al-ra’y dapat diklasifikasikan pada dua bagian;
a)    Tafsir bi al-ra’y al-Mahmûd (penafsiran yang terpuji), ialah tafsir al-Qur’an yang didasarkan dari ijtihad yang jauh dari kebodohan dan penyimpangan[6]serta sesuai dengan kehendak syari’at (penafsiran oleh orang yang menguasai aturan syari’at), jauh dari kebodohan dan kesesatan, sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab, serta berpegang pada uslub-uslubnya dalam memahami nas-nas al-Qur’an.[7]
Penafsiran al-Qur’an dengan ijtihad dengan tetap memenuhi syarat-syaratnya (menguasai Ilmu-Ilmu yang mendukung penafsiran al-Qur’an), serta berpegang kepadanya dalam memberikan makna-makna terhadap ayat-ayat al-Qur’an, maka penafsiran itu telah patut disebut tafsir al-mahmûd atau tafsir al-mashrû’.[8]
b)  Tafsîr bi al-ra’y al-Madhmûm (penafsiran yang tercela) adalah penafsiran al-Qur’an tanpa berdasarkan Ilmu, atau mengikuti hawa nafsu dan kehendaknya sendiri, tanpa mengetahui kaidah-kaidah bahasa atau syari’ah. Atau seorang mufassir menafsirkan ayat al-Qur’an berdasarkan madzhabnya yang rusak maupun bid’ahnya yang sesat.[9]

C.  Kualifikasi Seorang Mufassir
Seorang mufassir dalam berintraksi dengan ayat-ayat al-Qur’an –dalam hal penggunaan nalar rasio– bukanlah tanpa aturan dan bebas nilai (semaunya), namun ada beberapa hal yang harus ada pada diri mufassir, antara lain;
1.    Pengetahuan bahasa Arab dan kaidah-kaidah kebahasaan (Ilmu tata bahasa, sintaksis, etimologi dan morfologi).
2.    Menguasai Ilmu retorika/balaghah (ilm ma’ani, ilm bayan, ilm badi’).
3.    Menguasai Ilmu ushul fiqh (am, khash, mujmal, mufashshalah dan lain semacamnya).
4.    Menguasai asbâb al-nuzûl.
5.    Menguasai nâsikh dan mansûkh.
6.    Menguasai Ilmu qirâ’ât.
7.    Ilmu mauhibah[10] (Ilmu ini mengacu kepada Ilmu yang diberikan oleh Allah secara langsung melalui intuisi mistik).[11]

D.  Polemik Tafsir bi al-Ra’y
Berawal dari pandangan teologi umat Islam bahwa al-Qur’an adalah shâlih li kulli zaman wa makân (relevan pada setiap keadaan), sehingga menuntut al-Qur’an –sebagai teks– yang statis untuk selalu didialogkan  dengan realitas zaman yang dinamisdengan perkembangan problem sosial kemanusiaan yang dihadapi umat Islam sebagai konteks (waqa’i) yang tidakterbatas.
Penafsiran yang berlandaskan pemikiran mengundang kontroversi di kalangan ulama’ tafsir, ada yang menerima dan ada pula yang menolaknya. Mereka yang menolak akan berkomentar dengan berlandaskan ayat al-Qur’an surat al-Isra’ ayat 36:
Ÿwur ß#ø)s? $tB }§øŠs9 y7s9 ¾ÏmÎ/ íOù=Ïæ 4 ¨bÎ) yìôJ¡¡9$# uŽ|Çt7ø9$#uryŠ#xsàÿø9$#ur @ä. y7Í´¯»s9'ré& tb%x. çm÷Ytã Zwqä«ó¡tB ÇÌÏÈ   
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (Q.S. Al-Isra’ [17] : 36)
Dan dengan hadits Nabi:
من قال فى القرأن برأيه أو بما لايعلم فليتبوأ مقعده من النار
Barang siapa yang menafsirkan al-Qur’an dengan akalnya atau dengan yang tidak diketahuinya, maka bersiap-siaplah menempati api neraka.
         Serta dengan hadits lain:
من قال فى القرأن برأيه فأصاب فقد أخطأ
Barangsiapa menafsirkan al-Qur’an dengan ijtihadnya sendiri dan ternyata benar maka ia telah bersalah.
Selain itu, mereka juga mengatakan bahwa para sahabat dan tabi’in telah membatasi dan menghindari diri mereka dari mengatakan sesuatu tentang al-Qur’an berdasarkan pemikiran mereka. Lebih lanjut mereka mengatakan bahwa hanya rasul Allah yang diberikan otoritas untuk menjelaskan al-Qur’an, bukan orang lain.[12] Dalil yang mereka gunakan untuk memperkuat argumentasinya adalah ayat al-Qur’an surat al-Nahl ayat 44:
ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ Ìç/9$#ur 3 !$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍköŽs9Î) öNßg¯=yès9ur šcr㍩3xÿtGtƒ ÇÍÍÈ   
Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka[13] dan supaya mereka memikirkan (Q.S. al-Nahl [16] : 44).
Sedangkan ulama’ yang membolehkan menafsirkan al-Qur’an dengan menggunakan nalar pikiran berargumen dengan ayat al-Qur’an, di antaranya;
ë=»tGÏ. çm»oYø9tRr& y7øs9Î) Ô8t»t6ãB (#ÿr㍭/£uÏj9 ¾ÏmÏG»tƒ#uät©.xtFuŠÏ9ur (#qä9'ré& É=»t6ø9F{$# ÇËÒÈ   
Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran. (Q.S. Shaad [38] : 29)
Dari ayat ini, mereka memperbolehkan tafsir bi al-ra’y. Karena ayat tersebut merupakan himbauan dari Allah Swt. untuk selalu merenungkan dan mengambil ibrah (pelajaran) dari ayat-ayat al-Qur’an. Dan dari ayat ini pula mereka berasumsi bahwa di dalam al-Qur’an terdapat hal-hal yang perlu diungkap isi kandungannya bagi orang-orang yang mempunyai kapasitas dan kapabilitas serta integritas yang mapan.
Secara tegas mereka mengungkapkan, jika tafsir bi al-ra’y atau tafsir bi al-Ijtihad tidak dibenarkan atau tidak dibolehkan, berarti melakukan ijtihad juga termasuk katagori yang diharamkan. Jika demikian maka banyak hukum yang akan menjadi statis[14]
Dari perdebatan dua kelompok di atas, argumentasi mereka sama-sama kuat dan seolah tidak dapat dikompromikan. Namun, jika ditelisik lebih dalam lagi, mereka saling melengkapi dan memberikan kualifikasi bagi penafsiran yang menggunakan nalar, mana yang diperbolehkan dan mana yang dilarang. Maka secara tidak langsung, mereka memberikan gambaran bagi kita bahwa tafsir bi al-ra’y ada yang dibolehkan dan ada yang dilarang.
Terlepas dari pro dan kontra penggunaan akal dalam menafsirkan al-Qur’an, al-Dzahabi –setelah memberikan koridor-koridor penafsiran dan beberapa Ilmu pengetahuan yang harus dipenuhi bagi mufassir[15]– mencoba memposisikan dirinya dalam menyikapi perdebatan tersebut. Beliau memberiakan rambu-rambu dalam tafsir bi al-rayi yang dapat diterima, yaitu selama menghindari hal-hal berikut ini:
1.    Memaksakan diri untuk mengetahui makna-makna al-Qur’an yang dikehendaki Allah pada suatu ayat, padahal dia (mufassir) tidak memenuhi syarat untuk itu.
2.    Mencoba menafsirkan ayat-ayat yang maknanya hanya diketahui oleh Allah.
3.    Menafsirkan al-Qur’an dengan hawa nafsu dan sikap istihsan (menilai bahwa sesuatu itu baik semata-mata berdasarkan persepsinya).
4.    Menafsirkan ayat-ayat untuk mendukung suatu madzhab yang salah dengan cara menjadikan paham madzhab sebagai dasar, sedangkan penafsirannya mengikuti paham madzhab tersebut.
5.    Menafsirkan al-Qur’an dengan memastikan bahwa makna yang dikehendaki Allah adalah demikian atau tanpa didukung dalil.[16]
Dari beberapa ketentuan yang disebutkan di atas, maka selamamufassir bi al-rayi memenuhi syarat-syarat dan menjauhi hal-hal yang telah disebutkan di atas yang disertai dengan niat yang ikhlas semata-mata karena Allah, maka penafsirannya dapat diterima dan pendapatnya dapat dikatakan rasional.



[1]Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsîr Kontemporer, (Yogyakarta: LkiS Group, cet. III 2012), hlm. 21.
[2]M. Quraish Syihab, Membumikan al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan,1999), hlm. 79.
[3]Muhammad Ali al-Shabuni, al-Tibyân fi Ulûm al-Qur’an, (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003), hlm. 155. Bandingkan dengan, Manna Khalil al-Qattha, Mabâhits fi Ulûm al-Qur’an, (Surabaya: Al-Hidayah, tt.), hlm. 351.
[4]Rosihan Anwar, ‘Ulûm al-Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 220.
[5]Muḥammad Husain Al-Dzahabiy, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (KairoMaktabah Wahbah, tt.), I: 183.
[6]Thameem Ushama, Metodologi Tafsîr al-Qur’an; Kajian Kritis, Objektif & Komprehensif, terj. Hasan Basri dan Amroeni (Jakarta: Riora Cipta, 2000), hlm. 15.
[7]Muhammad Ali Al-Shabuni, Al-Tibyân fi Ulûm al-Qur’an, hlm. 157.
[8]Ibid.
[9]Ibid. Bandingkan dengan Thameem Ushama, Metodologi Tafsîr al-Qur’anhlm. 15.
[10]Muhammad Ali Al-Shabuni, Al-Tibyân fi Ulûm al-Qur’an, hlm. 159.
[11]Thameem Ushama, Metodologi Tafsîr al-Qur’anhlm. 19.
[12]Thameem Ushama, Metodologi Tafsîr al-Qur’an, hlm. 22.
[13]Yakni: perintah-perintah, larangan-larangan, aturan dan lain-lain yang terdapat dalam Al Quran.
[14]Thameem Ushama, Metodologi Tafsîr, hlm. 23.
[15]Muhammad Husain Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn. (KairoMaktabah Wahbah, tt.), I: 190-194.
[16]Ibid., hlm. 196.

0 comments:

Post a Comment