deskripsi gambar
WHAT'S NEW?
Loading...

Realitas Rasionalisasi Munasabah dalam Penafsiran

Munâsabah dan Rasio
Pada bagian ini, akan dibahas mengenai korelasi antar ayat dalam al-Qur’an. Ada tiga analisa yang diberikan oleh al-Zarkasyi, bahwa ayat memiliki munâsabahPertama, dengan menggunakan huruf athaf (ma’thûfah)kedua, sisipan (istithrâd), dan ketiga perumpamaan (tamtsîl).[1]
Dalam menjelaskan analisa pertama dan kedua, al-Zarkasyi memberikan tiga ayat dari dua surah yang berbeda, yaitu QS. al-Hadîd [57]: 4 dan QS. al-Baqarah [2]: 245 dan 189.
uqèd Ï%©!$# t,n=y{ ÏNºuq»yJ¡¡9$# uÚöF{$#ur Îû Ïp­GÅ 5Q$­ƒr& §NèO 3uqtGó$# n?tã Ä¸óyêø9$# 4 ÞOn=÷ètƒ $tB ßkÎ=tƒ ÎûÇÚöF{$# $tBur ßlãøƒs $pk÷]ÏB $tBur ãAÍ\tƒ z`ÏB Ïä!$uK¡¡9$# $tBur ßlã÷ètƒ $pkŽÏù ( uqèdur óOä3yètB tûøïr& $tB öNçGYä. 4 ª!$#ur $yJÎ/tbqè=uK÷ès? ×ŽÅÁt/ ÇÍÈ  
Artinya: Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: kemudian Dia bersemayam di atas ´arsy[2]Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya.[3] dan Dia bersama kamu di mama saja kamu berada dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan. QS. al-Hadîd [57]: 4
`¨B #sŒ Ï%©!$# ÞÚ̍ø)ム©!$# $·Êös% $YZ|¡ym ¼çmxÿÏ軟ÒãŠsù ÿ¼ã&s! $]ù$yèôÊr& ZouŽÏWŸ2 4 ª!$#ur âÙÎ6ø)tƒ äÝ+Áö6tƒurÏmøŠs9Î)ur šcqãèy_öè? ÇËÍÎÈ  
Artinya: Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), Maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan. QS. al-Baqarah [2]: 245
* štRqè=t«ó¡o Ç`tã Ï'©#ÏdF{$# ( ö@è% }Ïd àMÏ%ºuqtB Ä¨$¨Y=Ï9 Ædkysø9$#ur 3 }§øŠs9ur ŽÉ9ø9$# br'Î/ (#qè?ù's? šVqãŠç6ø9$#`ÏB $ydÍqßgàß £`Å3»s9ur §ŽÉ9ø9$# Ç`tB 4s+¨?$# 3 (#qè?ù&ur šVqãç7ø9$# ô`ÏB $ygÎ/ºuqö/r& 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# öNà6¯=yès9šcqßsÎ=øÿè? ÇÊÑÒÈ  
Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya,[4] akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung. QS. al-Baqarah [2]: 189
Pada contoh di atas (Q.S. al-Hadîd: 4 dan al-Baqarah: 245), terdapat huruf ’athaf yang keduanya saling beriringan. Al-Zarkasyi menyebutkan adakalanya munâsabah antar ayat yang menggunakan indikasi ’athaf tetapi menunjukkan saling bertentangan (al-madlâdah). Misalnya menyebut rahmat Allah setelah adzab, menyebut hal yang disenangi setelah yang dibenci, menyebut janji dan ancaman setelah ketetapan hukum.[5]
Selanjutnya, al-Zarkasyi dalam menjelaskan QS. 2: 189 menggunakan analisis istithrâd, dalam ayat ini dijelaskan bahwa ketika disebutkan mengenai waktu haji, dalam ayat yang sama disebutkan pula mengenai kebiasaan orang-orang Arab ketika mereka berada di musim haji.[6] Jadi, kalau ditelaah lebih jauh, ada satu pertanyaan, kemudian dijawab dengan dua jawaban dalam satu ayat. Hal ini sama misalnya dengan pertanyaan mengenai air laut, kemudian dijawab oleh Nabi bahwa air laut itu suci dan halal bangkainya.[7]
Contoh model terakhir adalah perumpamaan (tamtsîl), ayat yang dijadikan penguat oleh al-Zarkasyi dalam menerangkan model ketiga ini adalah Q.S. al-Isrâ (17): 1-3 dan 7-8.[8]
Dari beberapa contoh di atas, terlihat bahwa al-Zarkasyi memiliki kepekaan sekaligus kelihaian membuat korelasiayat-ayat al-Qur’an. Ini semakin menguatkan bahwa al-Qur’an memiliki hubungan yang sangat erat antara yang satu dengan yang lainnya. Dalam mengungkap sisi korelasi ayat, tidak semua mufassir sama dalam membuat ketersambungan ayat-ayat dan surat-surat dalam al-Qur’an. Karena kapasitas keilmuan seorang mufassir sangat menentukan.
Seperti halnya al-Biqa’i, beliau justru melihat bahwa awalan surat al-Baqarah ayat 189 (يسئلونك عن الأهلة“mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit” berkaitan erat dengan ayat-ayat sebelumnya, yaitu tentang puasa ramadlan dengan melihat hilal, bulan. Demikian pula dengan bulan Syawal. Hal ini didasarkan pada hadits Nabi صوموا لرؤيته وافطروا لرؤيته.[9]
Namun, dilain sisi, beliau justru berbeda dalam melihat bagian akhir potongan ayat ini. Dalam pandangan al-Biqa’i lafadz اتقواbertakwalah kalian semua, berkesinambungan dengan ayat sesudahnya (al-Baqarah ayat 190) yang di awali dengan lafadz وقاتلوا فى سبيل الله dan perangilah di jalan Allah. Karena berperang di jalan Allah merupakan tingkatan tertinggi dari bertakwa pada Allah dan paling membahayakan.[10] Oleh karena itu, perintah Allah untuk bertakwa selaras dengan perintahNya untuk berjihad melawan musuh-musuh Allah.
Jika al-Zarkasyi melihat atau membuat korelasi menggunakan analisis istithrâd  pada diri ayat itu sendiri (al-Baqarah: 189), dan al-Biqa’i membuat dua sisi korelasi ayat yang berbeda –bagian awal dan bagian akhir– namun, berbeda dengan Liliek Channa, beliau justru menyandingkan surat al-Baqarah ayat 189 –yang menerangkan bulan sabit (يسئلونك عن الأهلة)/tanggal-tanggal untuk tanda waktu dan jadwal ibadah haji– dengan ayat yang sesudahnya, yaitu ayat 190:
(#qè=ÏG»s%ur Îû È@Î6y «!$# tûïÏ%©!$# óOä3tRqè=ÏG»s)ムŸwur (#ÿrßtG÷ès? 4 žcÎ) ©!$# Ÿw =ÅsムšúïÏtG÷èßJø9$#ÇÊÒÉÈ  
Artinya: Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.
Ayat tersebut menerangkan perintah menyerang kepada orang-orang yang menyerang umat Islam. Sepintas, antarakedua ayat tersebut (QS. Al-Baqarah, 189 dan 190) tidak berhubungan antara satu dengan yang lain. Padahal, ada hubungan antara kedua ayat tersebut, yaitu, 2:189 mengenai waktu naik haji, sedangkan 2:190 menerangkan bahwa pada waktu haji, umat Islam dilarang berperang, tetapi jika ia diserang lebih dahulu, maka serangan-serangan musuh harus dibalas, walaupun pada musim haji.[11]
Jika dianalisis dari sudut pandang asbâb al-Nuzûl, surat al-Baqarah ayat 189 ini (yas alûnaka ’anil ahillah... sampai li al-nâsi wa al-haj), diturunkan sebagai jawaban terhadap banyaknya pertanyaan kepada Rasulullah Saw. tentang peredaran bulan.[12] Sedangkan wa laisa al-birru bi an ta’tu al-buyuta in dhuhuriha... sampai akhir ayat, diturunkan berkenaan dengan kebiasaan orang Jahiliah yang suka memasuki rumah dari pintu belakang sepulangnya menunaikan ihram dibaitullah.[13]
Dari sudut pandang ini, surat al-Baqarah ayat 189 mempunyai dua sisi yang berbeda dalam aspek asbâb al-Nuzûl.Pada bagian awal ayat, berbicara bulan sabit dan musim haji, sedangkan pada bagian akhir ayat berbicara tentang kebiasaan orang Jahiliah. Jika diamati, ayat ini seolah mengubah perisiwa eksternal –sebab turunnya ayat– menjadi bentuk simbolik-representatif; teks tidak merefleksikan peristiwa secara otomatis dan tidak mengekspresikannya secara mekanik, tetapi ia merefleksikannya dan sekaligus melampauinya dengan mengubahnya menjadi bentuk metaforis.[14]
Sedangkan ayat berikutnya, surat al-Baqarah ayat 190, (diturunkan) berkaitan dengan perdamaian di Hudaibiyah, yaitu ketika Rasulullah Saw. dicegat oleh kaum Quraisy untuk memasuki Baitullah. Adapun isi perdamaian tersebut antara lain, agar kaum muslimin menunaikan umrah pada tahun berikutnya. Ketika Rasulullah Saw. beserta para Sahabatnya mempersiapkan diri untuk melaksanakan umrah sesuai dengan perjanjian, para Sahabat khawatir kalau orang Quraisy tidak menepati janjinya, bahkan memerangi dan menghalangi mereka masuk masjid al-Haram,  padahal kaum muslimin enggan berperang pada bulan haram.[15] Sedangkan ayat ini, al-Baqarah ayat 190, sebagai pembenar untuk berperang membalas serangan musuh.
Pada aspek seperti ini, munâsbah kalimat dalam satu ayat, dalam pengungkapannya, adalah peran rasio aktif (dialektika personal mufassir dengan teks). Ketika bersifat rasio dan rasionalisasi teks –menjadi rasional­–, maka potensidakhîl terintrodusir di dalamnya. Apalagi, dialektika subjektif mufassir yang syarat dengan interpersonal teks.[16]
Sedangkan pada aspek yang kedua, penyambungan ayat pertama dengan yang sesudahnya (al-Baqarah ayat 189 dan 190) mengandung perbedaan yang signifikan dari aspek asbâb al-Nuzûl. Sedangkan husnu irtibâth al-Kalâm(ketersambungan pembicaraan yang baik) adalah hendaknya ada keterikatan topik pembicaraan antara awal dan akhirnya. Apabila terjadi perbedaan, maka tidak disyartkan adanya munâsabah antara yang satu dengan yang lainnya.[17] Ketika tetap membuat ketersambungan, maka potensi dakhîl lebih besar ada di dalamnya.
Kontradiktif munâsabah yang masih menyisakan persoalan-persoalan seperti di atas, dapat pula dilihat pada praktikmunâsabah berikut ini:
Pada surat al-Fâtihah diakhiri dengan do’a:
$tRÏ÷d$# xÞºuŽÅ_Ç9$# tLìÉ)tGó¡ßJø9$# ÇÏÈ  
Artinya: Tunjukilah[18] kami jalan yang lurus. (QS. al-Fâtihah ayat 6)
Doa’ ini mendapatkan jawaban pada permulaan surat al-Baqarah
$O!9# ÇÊÈ   y7Ï9ºsŒ Ü=»tGÅ6ø9$# Ÿw |=÷ƒu ¡ ÏmÏù ¡ Wèd z`ŠÉ)­FßJù=Ïj9 ÇËÈ  
Artinya: Alif laam miim. Kitab[19] (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.[20] (QS. al-Baqarah ayat 1-2)
Atas dasar ini, disimpulkan bahwa teks tersebut bersinambungan. Seperti yang dinyatakan al-Zarkasyi, “seolah-olah ketika mereka memohon hidayah kepada jalan yang lurus, maka dikatakan pada mereka bahwa jalan yang kalian minta adalah al-Kitab”.[21]
Padahal jika diamati secara stilistik kebahasaan, lafadz الصراط المسقيم jalan yang lurus, berbanding lurus dengan ayat sesudahnya, QS. al-Fâtihah ayat 7
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ غَيرِ المَغضُوبِ عَلَيهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ 
Artinya: (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni'mat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
Dari kedua ayat tersebut tampak bersesuaian dari aspek kebahasaan, karena QS. al-Fâtihah ayat 7 merupakan penjelas dari ayat sebelumnya, yaitu lafadz الصراط المسقيم. Dengan demikian, yang dimaksud dengan jalan yang lurus adalah suatu jalan yang diberkahi/diridlai Allah. Sebagaimana dikutip oleh Abu Hayyan al-Andalusi, Fakhruddin al-Razi membantah pada mufassir yang manyatakan bahwa الصراط المسقيم adalah al-Qur’an, karena maksud dari lafadz tersebut adalah ayat setelahnya dan tidak sama sekali menyinggung al-Qur’an sebagai jalan yang lurus.[22] Abu al-Qasim al-Baghawi menyatakan bahwa, yang dimaksud dengan jalan yang lurus adalah agama Islam.[23]
Seperti yang telah disinggung pada pembahasan sebelumnya, bahwa husnu irtibâth al-Kalâm(ketersambungan pembicaraan yang baik) merupakan hal yang urgen dan signifikan untuk diperhatikan dalam membuat ketersambungan ayat-ayat al-Qur’an. Hal ini (husnu irtibâth al-Kalâm), setidaknya melihat dari sisi keterikatan topik pembicaraan antara awal dan akhirnya.
Pada sudut pemandangan yang lain, akan timbul beberapa persoalan. Kenapa QS. al-Fâtihah ayat 6 harus dikorelasikan dengan QS. al-Baqarah ayat 2? Kenapa tidak dengan ayat-ayat berikut:
إِنَّ اللّهَ رَبِّي وَرَبُّكُمْ فَاعْبُدُوهُ هَـذَا صِرَاطٌ مُّسْتَقِيمٌ 
Artinya: Sesungguhnya Allah, Tuhanku dan Tuhanmu, karena itu sembahlah Dia. Inilah jalan yang lurus.(QS. Ali Imran ayat 51)
وَمَن يَعْتَصِم بِاللّهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ 
Artinya: Barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah, maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (QS. Ali Imran ayat 101)
فَاسْتَمْسِكْ بِالَّذِي أُوحِيَ إِلَيْكَ إِنَّكَ عَلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ 
Artinya: Maka berpegang teguhlah kamu kepada agama yang telah diwahyukan kepadamu. Sesungguhnya kamu berada di atas jalan yang lurus. (QS. Al-Zukhruf ayat 43)
Jika diamati secara leksikal, ayat-ayat di atas lebih nyambung dan ada korelasinya, yaitu pada penjabaran tentang petunjuk pada jalan yang lurus. Seperti pada QS. Ali Imran ayat 51 menyebutkan bahwa, jika kalian ingin memperoleh jalan yang lurus, maka hendaklah beribadah menyembah Allah. Sedangkan pada QS. Ali Imran ayat 101 dan QS. Al-Zukhruf ayat 43 menyebutkan bahwa, ketika seseorang ingin mendapatkan petunjuk pada jalan yang lurus, maka hendaklah berpegangteguh pada agama Allah. Terlebih dari itu, apabila dilihat dari aspekasbâb al-Nuzûl, ayat-ayat di atas tidak mempunyai sebab-sebab khusus dalam penurunannya. Pada keadaan yang seperti inilah, potensi dakhîl perlu dicurigai.
Dari beberapa contoh penerapan munâsabah di atas, tampak adanya subjektifitas mufassir yang berpotensi dakhîl. Karena bagaimanapun, seorang mufassir ketika dihadapkan dengan teks al-Qur’an maka gejolak pribadi –latar belakang pendidikan dan kondisi sekitar yang mengelilingi– akan masuk dan mempengaruhi penafsirannya. Dengan demikian, bukan tekslah yang menegaskan norma-norma hubungan-hubungannya berdasarkan struktur bahasanya, rasional dan persepsi.
Hal itu tidak berari bahwa hubungan tersebut bersifat objektif yang terpisah dari gerak akal pembaca dan mufassir,tetapi ia merupakan hubungan yang muncul dari dialektika pembaca dengan teks dalam proses pembacaan. Alasan-alasan rasional mufassir dalam mengupayakan ketersambungan ayat-ayat al-Qur’an, tanpa melihat keharmonisan ayat-ayat al-Qur’an, baik dari sisi konteks penurunannya maupun pada aspek hubungan stilistika kebahasaan. Dari sini lah potensi-potensi dakhil dapat masuk di ranah penafsiran.

Ilmu Munâsabah dan Dakhîl; Sebuah Batasan dan Kriteria Penafsiran
Pengetahuan mengenai korelasi dan hubungan antara ayat-ayat itu bukanlah hal yang tauqîfî (tidak dapat diganggu gugat karena telah ditetapkan rasul); tetapi didasarkan pada ijtihad seorang mufassir.
Ilmu munâsabah adalah sebuah instrument analisis al-Qur’an dengan jalan musyâkalah (mencari persamaan) dan muqârabah (mencari kedekatan) makna yang terdapat dalam ayat al-Qur’an. Implementasi analisis korelasi makna ini dilaksanakan dengan cara memperhatikan simbol-simbol yang digunakan dalam ayat, atau memperhatikan makna yang dikandung pada masing-masing ayat.
Dalam menemukan munâsabah al-Qur’an, diperlukan kecerdasan dan kejelian menganalisis ayat, baik dari segi tarkîb al-mufradâd (susunan kosa kata), arti mufradad, kandungan ayat, dan lain semacamnya. Terutama munâsabah ma’nawi yang sifatnya khafiy (samar), seperti al-Tandzir, al-Mudlâdah, al-Istithrad, dan al-Takhallush. Oleh karena itu, tidak semua mufassir dapat mengungkapkan keterkaitan ayat-ayat dalam al-Qur’an. Jika pun ada, bentuk penafsiran dengan analisis munâsabah dalam membuat keterkaitan antar ayat-ayat al-Qur’an akan tampak bervariatif (bergantung pada keahlian masing-masing mufassir).  Dari sisi inilah, peran penggunaan akal mendominasi.
Memahami al-Qur’an tidak dapat dipisahkan dari daya rasio. Karena bagaimanapun untuk memahami al-Qur’an –sedikit banyak– haruslah dengan memfungsikan akal fikiran. Menurut hemat penulis, penggunaan rasio dalam memahami al-Qur’an sah-sah saja, selama masih memperhatikan koridor-koridor penafsiran[24] dan kedudukan pengaplikasian rasio. Ditambah lagi, sifat munâsabah yang samar –dan untuk mengungkapkannya– menuntut akal untuk berperan aktif.
Munâsabah dalam pengaplikasiannya didominasi rasio aktif, mengindikasikan akan adanya dakhîlyaitu dari segi menyambung-nyambungkan ayat-ayat al-Qur’an hingga tampak menjadi satu-kesatuan yang utuh. Potensi dakhîl ini semakin nampak ketika munâsabah itu bersifat khafiy al-Irtibâth (hubungan samar), karena subjektifitas dan stigma penafsiran akan cendrung diintrodusir di ranah ini. Apalagi ayat-ayat al-Qur’an harus lepas dari konteks di mana ayat pertama kali diturunkan (asbâb al-Nuzûl).
Namun, ilmu munâsabah tidak selamanya berpotensi dakhîlyaitu apabila memenuhi kriteria di bawah ini:
Pertama, apabila korelasi itu halus maknanya, harmonis konteksnya dan sesuai dengan asas-asas kebahasaan dalam ilmu-ilmu bahasa Arab, maka korelasi tersebut dapat diterima.
Kedua, tidak ada pemaksaan dalam korelasi ayat atau surat. Sebab, jika dipaksakan, kesesuaian itu hanyalah dibuat-buat dan hal yang demikian itu tidak disukai.
Ketiga, tidak menyalahi pra-syarat[25] dan kode etik mufassir.[26]
Keempat, menghindari kriteria-keriteria dakhîl (sebagaimana dijelaskan pada bab dua).
Apabila dari beberapa kriteria yang disebutkan di atas terpenuhi, maka sebuah penafsiran dapat dinilai sah dan ashîl fi al-Tafsîr. Namun, jika tidak, maka validitas dan kebenarannya perlu dipertanyakan.



[1]Al-Zarkasyi, al-Burhân fi Ulum al-Quran, (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2007), I: 52-53.
[2]Bersemayam di atas 'Arsy ialah satu sifat Allah yang wajib kita imani, sesuai dengan kebesaran Allah dsan kesucian-Nya. (quran in word 1.3)
[3]Yang dimaksud dengan yang naik kepada-Nya antara lain amal-amal dan do´a-do´a hamba. (quran in word 1.3)
[4]Pada masa Jahiliyah, orang-orang yang berihram di waktu haji, mereka memasuki rumah dari belakang bukan dari depan. Hal ini ditanyakan pula oleh para Sahabat kepada Rasulullah Saw., Maka diturunkanlah ayat ini. (quran in word 1.3)
[5]al-Zarkasyi, al-BurhânI: 52.
[6]Berbeda dengan Abu Zaid, beliau justru menyikapi dua topic yang terkandung dalam satu surat tersebut dengan dua kemungkinan. Pertama, mendatangi rumah dari belakang merupakan semacam tamtsilsimbolik terhadap pertanyaan mereka tentang bulan sabit. Sedangkan kemungkinan kedua, memberikan fokusnya pada hubungan teks dengan realitas. Selengkapnya lihat, Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur’an: Kritik Terhadap Ulumul Qur’an, terj. Khairan Nahdiyyin, (Yogyakarta: LkiS, 2003), hlm. 214-215.
[7]al-Zarkasyi, al-BurhânI: 52.
[8]Ayat pertama dari surat al-Isra’ bercerita tentang isra’ mi’raj, ayat kedua bercerita tentang Nabi Musa dan ayat ketiga bercerita tentang Nabi Nuh. Dari ayat pertama sampai ayat ketiga sekilas tidak ada relevansinya, bahkan mungkin dianggap tidak logis. Akan tetapi jika ditelisik lebih dalam, pada hakikatnya antara ayat satu dengan yang lainnya memiliki kesatuan ide yang tidak terpisahkan. Meskipun terjadi peralihan ide dari ayat satu yang berbicara tentang isrâ’ ke ayat kedua yang membicarakan pemberian kitab kepada Musa. Namun demikian, munâsabah keduanya bisa ditemukan dari cerita kedua kisah itu yang menunjukkan kemahakuasaan Allah bagi hambanya yang bisa jadi sukar dicerna oleh akal manusia. Dengan kuasa-Nya mengetahui kisah-kisah orang musyrik terdahulu, sementara umat Nabi Muhammad tidak mengetahuinya, seperti halnya kisah Nabi Musa. Adapaun keterkaitan dengan ayat berikutnya yakni Nabi Nuh, karena keturunan bani Israil sebagai cucu Nabi Nuh. Dan dari keterkaitan dengan Nuh itulah bani Israil masih ada sampai sekarang, karena Nuh dan pengikutnya pernah diselamatkan oleh Allah dari bencana banjir yang menimpa kaum Nuh ketika itu. Dengan hal tersebut mereka diperintahkan untuk bersyukur, seperti yang di sandangkan kepada Nuh sebagai hamba yang bersyukur (’abdan syakûrâ) pada akhir ayat ketiga. Selang tiga ayat kemudian Allah tuturkan dengan bahasa yang indah ”jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka (kerugian kejahatanmu) untuk dirimu sendiri”. Ayat berikutnya melanjutkan”mudah-mudahan Tuhan kamu melimpahkan rahmat kepadamu, tetapi jika kamu melakukan kejahatan, niscaya kami kembali (mengadzabmu). Setelah panjang lebar menceritakan kisah dan pesan di atas, ayat berikutnya kembali mengalihkan pembahasan kepada hikmah diturunkannya al-Qur’an, karena sesungguhnya al-Qur’an merupakan tanda kebesaran Allah yang agung. Lihat, al-Zarkasyi, al-BurhânI: 53-54.
[9]Burhanuddin al-Biqa’i, Nadzm al-Durar fi Tanâsub al-Ayât wa al-Suwar, (Kairo: Dar al-Kutub al-Islami, 1480), III: 98.
[10]Ibid., III: 106.
[11]Liliek Channa, Ulum Qur’an dan Pembelajarannya, hlm. 213-214.
[12]K.H.Q. Shaleh dkk., Asbâb al-Nuzûl; Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat al-Qur’an,(Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2009), hlm. 55.
[13]Ibid., hlm. 56.
[14]Bentuk metaforis ini, disematkan pada orang yang tidak menghadapi masalah dari sisi yang semestinya. Kemudian Allah berfirman, وأت البيوت من أبوابها (datangilah rumah-rumah itu dari pintunya). Maksudnya, hadapilah masalah-masalah dari sisi yang semestinya dihadapi, jangan kalian berbalik. Selengkapnya lihat, al-Zarkasyi, al-BurhânI: 53.
[15]K.H.Q. Shaleh dkk., Asbâb al-Nuzûl, hlm. 58.
[16]Situasi, kondisi, politik, latar pendidikan, keluarga, lingkungan, kelompok, aliran, madzhab dan kepentingan-kepentingan mufassir lainnya yang masuk pada dialektisasi mufassir dan teks.
[17]Ahmad bin Ibrahim bin al-Zubair al-Tsaqafi, al-Burhân fi Tanasub Suwar al-Qur’an, (Saudi: Dar Ibn al-Jauzi, 1428), hlm. 68. Dan al-Zarkasyi, al-Burhân, I: 49.
[18]Ihdina (tunjukilah kami), dari kata hidayaat: memberi petunjuk ke suatu jalan yang benar. yang dimaksud dengan ayat ini bukan sekedar memberi hidayah saja, tetapi juga memberi taufik.
[19]Tuhan menamakan Al Quran dengan Al kitab yang di sini berarti yang ditulis, sebagai isyarat bahwa Al Quran diperintahkan untuk ditulis
[20]Takwa, yaitu memelihara diri dari siksaan Allah dengan mengikuti segala perintah-perintah-Nya; dan menjauhi segala larangan-larangan-Nya; tidak cukup diartikan dengan takut saja.
[21]Koreksi kembali, Badruddin al-Zarkasy, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmi, 2007), I: 50. Korelasi seperti ini, diikuti oleh mayoritas ulama.
[22]Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahru al-Muhîth, (al-Maktabah al-Syâmilah), I: 18. Zamakhsyari menegaskan bahwa, lafadz الصراط المسقيم hanyalah sebagai pengganti dari صِرَاطَ الذين أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْseolah ketika mengucapاهدنا الصراط المستقيم  sama halnya denga اهدنا صراط الذين أنعمت عليهم. Lihat Zamakhsyari, al-Kasysyaf, (al-Maktabah al-Syâmilah), I: 9.
[23] Selengkapnya lihat, Abu al-Qasim al-Baghawi, Tafsîr al-Baghawi, (al-Maktabah al-Syâmilah), VII: 298.
[24]Yaitu, selama mufassir tidak menggunakan pemikiran yang bersebrangan dengan nash al-Qur’an, tidak berdusta, tidak mengada-ngada dan atau berlebihan serta lalai dalam menyikapi nash-nash al-Qur’an. Lihat, Muhammad Ya’qub, Asbâb al-Khatha’ fi al-Tafsir, (ttp: Dar Ibn al-Jauzi, 1425 H), hlm. 69-70.
[25]Pra-syarat yang esensial dan mendasar bagi seorang mufassir meliputi; 1) Aqidah yang benar, 2) Bebas dari lelucon dan khayalan, 3) Penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an, 4) Penafsiran al-Qur’an dengan al-Sunnah, 5) Penafsiran al-Qur’an dengan perkataan Sahabat dan Tabi’in, 6) Ilmu bahasa Arab. Selengkapnya lihat, Thameem Ushama, Metodologi Tafsir al-Qur’an; Kajian Kritis, Objektif & Komprehensif, terj. Hasan Basri dan Amroeni (Jakarta: Riora Cipta, 2000), hlm. 31-33.
[26]Setiap mufassir harus memenuhi etiket-etiket sebagai berikut; 1) Niat yang baik dan tujuan yang murni, 2) Karakter yang baik, 3) Keteladanan, 4) Kebenaran dan keakuratan dalam periwayatan, 5) Kerendahan hati dan kelembutan, 6) Perasaan hormat, 7) Terus terang dalam kebenaran, 8) Tingkah laku yang baik, 9) Ketabahan dan keikhlasan, 10) Persiapan dan rancangan kerja yang baik. Lihat, Thameem Ushama, Metodologi Tafsir al-Qur’anhlm. 34-35.

0 comments:

Post a Comment