deskripsi gambar
WHAT'S NEW?
Loading...

al-Dakhil dan al-Ashil fi al-Tafsir

Al-Dakhîl fi Al-Tafsîr
1.    Pengertian Dakhîl
Secara etimologi (bahasa), kata al-Dakhîl memiliki banyak arti, Ibnu Mandzur mengartikan kata dakhîl sebagai kullu kalimatin udkhilat fi kalâm al-Arab wa laisat minhu,[1] (setiap kalimat atau bahasa yang dimasukkan ke dalam bahasa Arab dan bukan berasal dari bahsa Arab). Ibrahim Abdurrahman Khalifah mengartikan dakhîl sebagai mâ dâkhiluka min fasâdin fî ‘aqlin aw jismin[2] (sesuatu yang masuk ke dalam tubuhataupun akal manusia, berupa penyakit atau sesuatu yang jelek). Ali Mukhaimir mengartikannya sebagai setiap unsur asing yang masuk dan tidak sesuai dengan koridor-koridor lingkungan setempat, baik dari tutur kata dan lain semacamnya.[3]
Sedangkan makna dakhîl secara termenologi (istilah) adalah penafsiran al-Qur’an yang tidak memiliki sumber jelas dalam Islam, baik itu tafsir menggunakan riwayat-riwayat hadits lemah dan palsu, ataupun menafsirkannya dengan teori-teori sesat seorang penafsir (karena sebab lalai ataupun karena tidak terpenuhinya syarat-syarat ijtihad mufassir)[4].
Berdasarkan pengertian di atas, maka al-Dakhîl dalam tafsir adalah suatu aib atau cacat –yang bersumber dari pemikiran rusak– dan atau unsur asing yang sengaja disisipkan ke dalam beberapa bentuk tafsir al-Qur’an.
2.    Macam-Macam Dakhîl
Dari beberapa pengertian di atas, dakhîl dibagi menjadi dua, yaitu, dakhîl dalam tataran riwayat (al-Dakhîl fi al-Manqûl) dan dakhîl dalam tataran hasil pemikiran (al-Dakhîl fi al-Ma’qûl).
a.    Dakhîl Naqli
Dakhîl naqli adalah setiap penafsiran dengan sunnah nabawiyyah yang faliditas dan otentisitasnya masih diragukan.[5] Bentuk dakhîlnaqli adalah sebagai berikut :
1) Menafsirkan al-Qur’an dengan hadits yang tidak layak dijadikan hujjah. Seperti menafsirkan al-Qur’an dengan hadits palsu dan dlaif (lemah), lebih-lebih bila faktor ke-dlaif-an hadits tersebut tidak mungkin direhabilitasi, seperti tidak terpenuhinya unsur ‘adalah (integrasi perawi).[6]
2) Menafsirkan al-Qur’an dengan pendapat sahabat yang tidak valid[7], seperti menafsirkan al-Qur’an dengan haditmauqûfyang palsu atau sanadnya dlaif.
3)   Menafsirkan al-Qur’an dengan pendapat tabi’in yang tidak valid, seperti menafsirkan al-Qur’an dengan hadits mursal yang palsu atau sanadnya dlaif.[8]
4)      Menafsirkan al-Qur’an yang bertentangan dengan ma’tsur al-Shahâbah[9]
5)     Menafsirkan al-Qur’an dengan salah satu bentuk ashîl  al-naqlidari tiga bentuk ashîl al-naqli[10] yang kontradiktif, sedangkan kontradiksinya sangat kontras dan tidak dapat dikompromikan dengan logika, sekalipun logika itu asumtif.[11]
6)    Menafsirkan al-Qur’an dengan kisah-kisah israiliyat yang diambil dari ahlu al-Kitab dan bertentangan dengan al-Qur’an dan al-sunnah.[12]
7)   Suatu penafsiran yang bertentangan antara naql dan aql yang keduanya tidak bisa dikompromikan. Dalam keadaan yang demikian, maka penafsiran dengan aql dinamakan dakhîl dan dzahir nashnya disebut ashîl .[13]
b.   Dakhîl ‘Aqli
Dakhîl ‘aqli adalah suatu penafsiran yang didasarkan pada pemikiran yang keliru.[14] Sebagaimana pembagian bentuk-bentuk dakhîl di atas, maka dakhîl dalam tataran ‘aql sangatlah beragam, tergantung dari seorang mufassir. Faktor dominan dalam kesalahan penafsiran adalah kurang terpenuhinya syarat-syarat seorang mufassir.[15] Secara umum dakhîl ‘aqli dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1)      Dakhîl karena faktor kesalahpahaman akibat kurang terpenuhinya syarat-syarat ijtihad, tetapi penafsirannya didasari niat yang baik.[16]
2)      Dakhîl karena distorsi suatu nash dan mengabaikan makna literal. Dakhîl karena faktor ini sering dilakukan oleh kelompok Muktazilah dan sebagian Filosof Muslim.[17]
3) Dakhîl karena faktor kejumudan (stagnan) dalam memahami suatu nash dan mengabaikan rasio. Hal ini dilakukan oleh kelompok Musyabbah dan Mujassamah[18]
4)  Dakhîl karena faktor kefilsafatan yang berlebihan dalam mengungkapkan makna terdalam suatu nash. Ini sering digunakan oleh kelompok Tashawwuf Falsafi[19]
5)  Dakhîl karena faktor kesewenang-wenangan dalam melihat atau mengungkapkan kepelikan aspek kebahasaan dan gramatikal al-Qur’an.[20]
6)   Dakhîl karena faktor pengungkapan aspek-aspek mukjizat al-Qur’an yang diada-adakan dan nyeleneh, terlebih dari aspek ilmiah. Dakhîl karena faktor ini sering dilakukan oleh sebagian Ilmuan yang menguasai Ilmu-Ilmu kontemporer.[21]
7)     Dakhîl karena faktor pengingkaran terhadap ayat-ayat Allah dan upaya untuk merusak Islam, seperti penafsiran sesuai hawa nafsu dan kepentingan untuk mempertahankan faham golongan dan akidah yang sesat. Hal ini seringkali dilakukan oleh aliranBathiniyyah, seperti Baha’iyyah, Bâbiyyah dan Qâdiyaniyyah.[22]
3.    Perkembangan Dakhîl  dalam Tafsir al-Qur’an
Sejarah perkembangan dakhîl, sudah muncul pada masa turunnya al-Qur’an yang semakin hari terus ditambah sedikit demi sedikit, hingga melahirkan berbagai ragam.[23] Kondisi seprti itu terus berkembang hingga aspek yang sangat fatal, yaitu pemahaman yang salah terhadap nash-nash al-Qur’an, sekalipun mereka berpijak pada niat yang baik dalam menafsirkan al-Qur’an.
Pada masa turunnya al-Qur’an, terbagi pada dua aspek. Pertama,keragu-raguan orang-orang kafir yang ingin mendistorsi al-Qur’an dan merusaknya. Kedua, tidak adanya pemahaman yang benar terhadap nash-nash al-Qur’an dan atau karena terburu dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an tanpa menunggu penjelasan dari Nabi Saw., atau menunggu turunnya ayat lain.[24]
Kesalahan-kesalahan pada masa ini (hidupnya Nabi) tidak didasarkan pada fanatisme dan ketidakpahaman dengan bahasa Arab ataupun yang lainnya, namun dari segi kurangnya piranti ijtihad dan terlalu terburu-buru dalam menafsirkan nash-nash al-Qur’an.[25] Kondisi seperti itu terus berkembang hingga wafatanya Nabi Saw. Dari sejarah panjang perjalanan dakhîl fi al-Tafsîr, dapat ditarik kesimpulan bahwa dakhîl fi al-Tafsîr berawal dari niat yang jelek seorang mufassir[26] yang kemudian mendistorsi ayat-ayat al-Qur’an, baik untuk kepentingan individu, kelompok, politik dan lain semacamnya.
4.    Faktor Masuknya Dakhîl dalam Tafsir al-Qur’an 
Sedangkan faktor masuknya al-Dakhîl fi al-Tafsîr ada dua, yaitu:
a.    Faktor Eksternal, yaitu dari orang-orang yang memusuhi al-Qur’an, diantaranya orang-orang Yahudi, Nashrani, Komunis, Filosof Eksistensi dan lain-lain, yang ingin merusak Islam dan mengotori ajaran Islam dengan hal-hal yang tidak layak. Mereka menyebar dan menyelipkan khurafat dan kebatilan-kebatilan ke dalam al-Qur’an agar umat Islam merasa ragu dengan agamanya sendiri dari kitabnya.
b.   Faktor Internal, yaitu mereka yang mengaku bagian dari sekte Islam. Padahal, mereka memiliki hubungan yang kuat dengan musuh Islam di atas. Sekte Islam itu hanya menjalankan strategi yang dirumuskan oleh musuh-musuh Islam. Bagaimana pun hebatnya strategi mereka, tetap saja tidak akan menang (Q.S. Al-Anfal: 30, As-Shaf: 8), dan Allah akan menjaganya sampai kapan pun (Q.S. Al-Hijr: 9).[27]
5.    Faktor Penggunaan Dakhîl  dalam Tafsir al-Qur’an 
Secara umum sebab-sebab adanya al-Dakhîl adalah:
a. Berlebih-lebihan dalam agama, tidak adanya keikhlasan dalam beragama dan tidak semangat dalam melaksakan perintah-perintahnya.
b.   Melakukan makar (tipu daya) terhadap agama Islam.
c.  Banyaknya para ahli bid’ah seperti Khawarij, Qadariyah, Jahamiyyah dan lain sebagainya.
d.   Kuatnya ta'asub terhadap madzhab,[28] asal dan tempat (fanatisme kelompok).
e.   Tujuan yang baik, tetapi dilakukan dengan cara yang salah.
f.    Menginginkan kesenangan dunia semata dengan mengatasnamakan agama.
g.   Adanya kepentingan-kepentingan politik yang masuk.

 Al-Ashîl fi Al-Tafsîr
Secara umum dapat ditarik kesimpulan bahwa al-Ashîl fi al-Tafsîradalah kebalikan dari al-Dakhîl fi al-Tafsîr, termasuk semua komponen ashîl. Jadi, ketika penafsiran al-Qur’an tidak ada indikasi dakhîl, dapat disebut ashîl. Namun, terlebih dari semua itu, perlu kita pahami –secara benar– pengertian ashîl dan seluk beluknya.
1.    Pengertian Ashîl
Kata al-Ashîl menurut bahasa adalah sesuatu yang memiliki asal yang kuat dalam objek yang dimasukinya atau segala sesuatu yang memiliki asal-usul yang pasti. Sedangkan menurut istilah, al-Ashîl adalah tafsir yang berlandaskan kepada al-Qur’an dan al-Sunnah, atau pendapat sahabat dan tabi'in dan atau berdasarkan ijtihad dan ra'yun yang sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan kaidah Syari'ah. Dalam pengertian lain al-Ashîl dapat dipahami sebagai suatu unsur atau faktor yang dinilai sah tafsir qur’ani.
2.    Macam-Macam Ashîl
Dari pengertian al-Ashîl di atas, maka al-Ashîl fi al-Tafsîr dapat diklasifikasikan ke dalam dua bentuk, yaitu al-Ashîl fi al-Naqli dan al-Ashîl fi al-Aqli, sebagaimana uraian berikut.
a.    Ashîl  Naqli
Ashîl naqli adalah suatu penafsiran yang didasarkan pada nash-nash yang dibenarkan. Dari pengertian ini, maka ashîl naqli setidaknya terbangun atas;
1)   Menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an.
2)   Menafsirkan al-Qur’an dengan hadits-hadits yang shahih.
3)   Menafsirkan al-Qur’an dengan perkataan sahabat yang marfu’kepada Nabi Saw.
4)   Menafsirkan al-Qur’an dengan ijma’ sahabat atau tabi’in.[29]
b.   Ashîl ‘Aqli
Ashîl ‘aqli adalah suatu penafsiran yang didasarkan pada pemikiran (ijtihad) yang dibenarkan.  Ashîl dalam tataran pemikiran merupakan titik tolak dari dakhîl ‘aqli, sebagaiman penjabaran di atas. Maka ashîl ‘aqli secara umum setidaknya terbangun atas;
1)   Menafsirkan nash-nash qur’ani dengan metodologi tafsir yang sah (menguasai kaidah-kaidah penafsiran, tata bahasa, Ilmu-Ilmu qur’an dan perangkat metodologis penafsiran lainnya).[30]
2)   Tidak bersebrangan dengan koridor-koridor syar’i dan kaidah-kaidah penafsiran.
3.    Kriteria dan Syarat-Syarat Ashîl dalam Tafsir al-Qur’an  
Berbicara mengenai kriteria dan syarat-syarat ashîl dalam tafsir al-Qur’an, maka sebuah penafsiran dapat dikatakan ashîl apabila tidak ada unsur dakhîl yang masuk di ranah penafsiran (sebagaimana telah diurai).




[1]Lihat, Ibn Mandzur, Lisân al-‘Arab, (Bairut: Dar Ihya’ al-Turats al-Arabi, 1997), IV: 308. Bandingkan dengan, Muhammad bin Ya’qub al-Fairuzzabadi, al-Qamus al-Muhîth, (Bairut: Dar al-Fikr, 1429), hlm. 898.
[2]Ibrahim Abdurrahman Khalifah, al-Dakhîl fi al-Tafsîr, (Jami’a al-Azhar, ttp, tt.), I: 20.
[3]Koreksi kembali, Tsana’ ‘Ali Mukhaimir, al-Dakhîl fi al-Tafsîr, (Jami’a al-Azhar, ttp, tt.), hlm. 15.
[4]Ibrahim Abdurrahman Khalifah, al-Dakhîl fi al-Tafsîr, I: 22. Bandingkan dengan, Tsana’ ‘Ali Mukhaimir, al-Dakhîl fi al-Tafsîr, hlm. 15.
[5]Ibid.,hlm. 33
[6]Ibid.
[7]Ibrahim Abdurrahman Khalifah, al-Dakhîl fi al-Tafsîr, I: 33.
[8]Ibid., hlm. 34.
[9]Ibid.
[10]Yang dimaksud tiga bentuk ashîl naqli pada bagian ini adalah penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an, sunnah shâlihah, dan aqwâl al-shahâbah, sebagaimana akan diurai pada pembahasan selanjutnya.
[11]Ibrahim Abdurrahman Khalifah, al-Dakhîl fi al-Tafsîr, I: 34-35.
[12]Tsana’ ‘Ali Mukhaimir, al-Dakhîl fi al-Tafsîr, hlm. 20.
[13]Ibid.
[14]Ibid., hlm. 16.
[15]Ibrahim Abdurrahman Khalifah, al-Dakhîl fi al-Tafsîr, I: 37.
[16]Ibid., hlm. 39.
[17]Ibid.
[18]Ibid.
[19]Ibid.
[20]Ibid.
[21]Ibid.
[22]Ibid.
[23]Tsana’ ‘Ali Mukhaimir, al-Dakhîl fi al-Tafsîr, hlm. 26.
[24]Ibid., hlm. 28.
[25]Ibrahim Abdurrahman Khalifah, al-Dakhîl fi al-Tafsîr, I: 106.
[26]Ibid., hlm. 41.
[27]Tsana’ ‘Ali Mukhaimir, al-Dakhîl fi al-Tafsîr, hlm. 18.
[28]Ibid., hlm. 442.
[29]Ibid., hlm. 32.
[30]Ibid., hlm. 35.

0 comments:

Post a Comment