Tafsir Karya KH. Bisri Musthofa ini berjudul lengkap
al-Ibriz li Ma'rifah Tafsir al-Qur'an al-Aziz, lebih dikenal dengan al-Ibriz.
Bisri Musthofa dilahirkan di kampung Sawahan, Rembang, Jawa Tengah pada tahun
1915 dengan nama asli Mashadi (yang kemudian diganti menjadi Bisri Mustofa
setelah menunaikan ibadah haji). Bisri Musthofa
merupakan putra pertama dari pasangan H.
Zainal Musthofa dengan isteri keduanya bernama Hj. Chotijah.
Tafsir al-Ibriz merupakan karya masterpiece beliau. Kitab
tafsir ini selesai ditulis pada tanggal 29 Rajab tahun 1279 H, atau bertepatan
dengan tanggal 28 Januari 1960 M. Bisri
Mustofa mengarang kitab tafsir al-Ibriz hingga berjumlah
30 Juz yang
disusun kurang lebih sekitar enam
tahun, yaitu mulai
1954 hingga 1960.
Tafsir ini ditulis dengan tujuan agar dapat menambah
khidmah dan usaha yang baik untuk umat Islam. Bisri Musthofa menyajikan
tafsirnya dengan cara yang bersahaja, ringan, dan mudah untuk dipahami oleh seluruh
kalangan masyarakat, khususnya masyarakat Jawa. Sehingga, untuk mewujudkan
tujuan tersebut tafsir al-Ibriz ditulis mengunakan bahasa Jawa dengan tulisan
huruf Arab atau yang disebut dengan istilah Arab Pegon. Dalam penyusunan
kitabnya, beliau menuliskan ayat al-Qur'an di tengah, kemudian dimaknai secara
gandul. Terjemahan tafsirnya diletakan di bagian tepi halaman ditandai dengan
nomor.
Bisri Musthofa secara penuh menafsirkan ayat al-Qur'an.
Diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat al-Nas. Metode
seperti ini sering disebut dengan istilah Mushafi. Peran al-Ra’yi dalam
penafsirannya terbilang kentara. Namun, tidak menutup kemungkinan dalam tafsir
ini juga terdapat sumber ma’thur, karena terkadang beliau menyubutkan asbab
al-nuzul dari suatu ayat dalam penafsirannya.
Dalam penjelasan ayat-ayat al-Qur'an, Tafsir al-Ibriz
dikategorikan sebagai penafsiran secara ijmali. Akan tetapi, terkadang
dibeberapat tempat ditemukan suatu uraian tafsir yang cukup panjang. Pembahasan
Isra’iliyat pun tak terlupakan dalam tafsir ini. Cerita Isra’iliyat beliau
cantumkan ketika menceritakan kisah-kisah yang terkandung dalam ayat al-Qur'an.
Pengambilan Isra’iliyat beliau cukupkan pada sebuah sejarah ataupun hikmah:
bukan pada sesuatu yang menagandung sebuah hukum atau aqidah, dan bukan suatu
hal yang bertentangan dengan akal maupun syari’ah. (Diolah dari berbagai
sumber)
0 comments:
Post a Comment