A. Ilmu Munâsabah
1. Pengertian Munâsabah
Munâsabah dapat dipahami dari dua sudut tinjauan, yaitu secara etimologi (bahasa) dan terminologi (istilah). Secara etimologi, munâsabahberasal dari kataناسب يناسب مناسبة yang berarti bersambungnya sesuatu dengan sesuatu yang lain.[1] Kata munâsabah berarti kedekatan[2] ataual-muqârabah (kedekatan)[3], kesingkronan,[4] persesuaian, hubungan atau relevansi,[5] dan atau bahkan bermakna al-musyâkalah (keserupaan).[6] Al-Zarkasyi memberi contoh فلان يناسب فلانا,[7] berarti, si A mempunyai hubungan dekat dengan si B dan menyerupainya.[8] Dalam konteks ini, hampir dapat dipastikan bahwa ayat-ayat dalam al-Qur’an memiliki hubungan yang erat.
Sedangkan secara terminologi, munâsabah didefinisikan sebagai berikut:
a. Menurut al-Zarkasyi[9]
المناسبة أمر معقول إذا عرض على العقول تلقته بالقبول
“munâsabah adalah suatu hal yang dapat dipahami. Ketika dihadapkan pada akal, pasti akal akan menerimanya”
b. Menurut Manna’ Khalil al-Qaththan[10]
وجه الإرتباط بين الجملة والجملة فى الأية الواحدة أو بين الأية والأية فى الأية المتعددة أو بين السورة والسورة
“munâsabah adalah sisi keterkaitan antara beberapa ungkapan di dalam satu ayat, atau antar ayat pada beberapa ayat, atau antar surat (dalam al-Qur’an)”
c. Menurut Ibn al-Arabi[11]
إرتباط أي القرأن بعضها ببعض، حتى تكون كالكلمة الواحدة، متسقة المعاني، منتظمة المباني، علم عظيم
“munâsabah adalah keterkaitan ayat-ayat al-Qur’an sehingga seolah-olah merupakan satu ungkapan yang mempunyai kesatuan makna dan keteraturan redaksi. Munâsabah merupakan ilmu yang sangat agung”
d. Menurut Al-Biqa’i[12]
مناسبات القرأن علم تعرف منه علل ترتيب أجزائه
“munâsabah adalah suatu ilmu yang mencoba mengetahui alasan-alasan di balik susunan atau urutan bagian-bagian al-Qur’an”
Dalam konteks ‘ulûm al-Qur’an, munâsabah berarti menjelaskan korelasi makna antar ayat atau antar surat, baik korelasi itu bersifat umum (âm) atau khusus (khâs), rasional (’aql), persepsi (hassiy), atau imajenatif (khayâli), atau korelasi berupa sebab-akibat, ‘illat dan ma’lul,perbandingan, dan perlawanan.[13] Secara sederhana, -sebagimana yang dikatakan Kadar M. Yusuf- bahwa munâsabah adalah suatu ilmu yang membahas tentang keterkaitan atau keserasian ayat-ayat al-Qur’an anatara satu dengan yang lain.[14] Jadi, munâsabah tidak hanya sesuai dalam arti yang sejajar dan paralel saja, melainkan yang kontradiktifpun termasuk munâsabah.
Menurut Chirzin, bentuk kesesuain tersebut lebih didominasi oleh kaitan yang berkisar sebab akibat dan pertentangan, karena jika ayat itu tidak saling bertemu maka tentu berhadapan sebagai lawan.[15]
Namun demikian, ayat-ayat al-Qur’an jika hanya dilihat sepintas, memang seperti tidak ada hubungan sama sekali antara ayat yang satu dengan yang lainnya, baik dengan yang sebelumnya maupun dengan ayat yang sesudahnya. Karena itu, tampaknya ayat-ayat itu seolah-olah terputus dan terpisah yang satu dari yang lain seperti tidak ada kontaknya sama sekali. Tetapi, jika diamati secara teliti, akan tampak adanyamunâsabah atau kaitan yang erat antara yang satu dengan yang lain. Dari sinilah terlihat signifikansi ilm al-munâsabah.
2. Historitas Munâsabah
Lahirnya pengetahuan tentang teori korelasi (munâsabah), berawal dari sebuah realita sistematika al-Qur’an –sebagaimana terdapat dalam mushaf utsmani sekarang– tidak berdasarkan kronologis turunnya al-Qur’an. Oleh karena itu, para ulama berbeda pendapat tentang urutan surat dalam al-Qur’an. Atas dasar perbedaan sistematika itulah teorimunâsabah al-Qur’an kurang mendapat perhatian dari para ulama yang menekuni ‘ulûm al-Qur’an.[16]
Menurut Abu al-Hasan al-Syahrabani, seperti dikutip al-Zarkasyi dalam al-Burhân, orang pertama yang menampakkan dan melakukan kajian munâsabah dalam menafsirkan al-Qur’an adalah Abu Bakar al-Naisaburi (wafat tahun 342 H).[17] Kemudian diikuti oleh beberapa ulama ahli tafsir, seperti Abu Ja’far bin Jubair dalam kitabnya Tartîb Suwar al-Qur’an, Syaikh Burhanuddin al-Biqa’i dengan kitabnya Nadzm al-Dhurar fi Tanâsub al-Ayât wa al-Suwar, al-Suyuthi sendiri dalam kitabnya Asrâr al-Tartîb al-Qur’an, Abu Ja’far bin Zubair dengan karyanya al-Burhân fi Munâsabah Tartîb Suwar al-Qur’an,.[18]
Para mufassir berbeda-beda dalam menggunakan istilah munâsabah. Ar-Razi menggunakan istilah ta’alluq sebagai sinonim munâsabah. Sayyid Qutub menggunakan lafadh irtibâth sebagai pengganti istilah munâsabah.Sayyid Rasyid Ridha menggunakan istilah ittishâl dan ta’lil, sedangkan al-Alusi menggunakan istilah tartîb.[19]
3. Bentuk dan Macam Munâsabah
Munâsabah atau keadaan persesuaian jika dilihat dari sifatnya ada dua macam, yaitu persesuaian yang nyata (dzâhir al-Irtibâth) dan persesuaian atau persambungan yang tidak nyata (khafiy al-Irtibâth).[20]Munâsabah antar ayat yang terlihat dengan jelas umumnya menggunakan pola ta’kîd (penguat), tafsîr (penjelas), I’tiradl (bantahan), dan tasydîd(penegasan).[21] Sedangkan munâsabah antar ayat yang tidak jelas dapat dilihat melalui qarâ’in ma’nawiyah (hubungan makna) yang terlihat dalam empat pola munâsabah, yaitu al-tandzîr (perbandingan), al-mudlâdah(perlawanan), istidlrâd (penjelasan lebih lanjut), dan al-takhallush(perpindahan).[22]
Para mufassir melihat banyak bentuk dan macam munâsabah al-Qur’an, namun secara garis besar dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian utama, yaitu dzâhir (jelas) dan mudlmar (tersembunyi),[23] baik itu berbentuk munâsabah bain al-Ayah atau munâsabah baina al-Surah,sebagaimana akan diurai sebagai berikut:
a. Munâsabah antar ayat dalam satu surat, setidaknya terdiri dari:
1) Hubungan antar kalimat dalam satu ayat
Munâsabah dalam bentuk ini sering berpola munâsabah al-tadlâdah (perlawanan), seperti terlihat dalam surat al-Hadid [57] ayat 4:
uqèd “Ï%©!$# t,n=y{ ÏNºuq»yJ¡¡9$# uÚö‘F{$#ur ’Îû ÏpGÅ™ 5Q$ƒr& §NèO 3“uqtGó™$# ’n?tãĸóyêø9$# 4 ÞOn=÷ètƒ $tB ßkÎ=tƒ ’Îû ÇÚö‘F{$# $tBur ßlãøƒs† $pk÷]ÏB $tBur ãAÍ”\tƒ z`ÏBÏä!$uK¡¡9$# $tBur ßlã÷ètƒ $pkŽÏù ( uqèdur óOä3yètB tûøïr& $tB öNçGYä. 4 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=uK÷ès?׎ÅÁt/ ÇÍÈ
Artinya: Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: kemudian Dia bersemayam di atas ´arsy[24] Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya[25]. dan Dia bersama kamu di mama saja kamu berada. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.
Secara sepintas, ungkapan ما يلج فى الأرض وما يخرج منها seolah-olah tidak berhubungan dengan ungkapan وما ينزل من السماء وما يعرج فيها, sebab yang pertama berbicara tentang sesuatu yang turun dan naik ke langit. Akan tetapi, jika ditelisik lebih dalam lagi, kedua ungkapan itu masih saling berhubungan, yaitu sama-sama fokus pada aspek ilmu Allah. Karena Dia lah yang mengetahui apa saja yang terjadi di langit dan di bumi. Oleh karena itu, keduanya dihubungkan dengan huruf athaf.
Munâsabah dengan huruf athaf, biasanya menghubungkan dua hal yang berlawanan (pertentangan), seperti kata yaliju(masuk) dan kata yakhruju (keluar), serta kata yanzilu (turun) dan kata ya’ruju (naik) yang kesemuanya itu terdapat korelasi perlawanan. Contoh lainnya adalah kataالحق dan الباطل (al-Baqarah, 2:42),الدنيا danالاخرة (an-Nisa’, 4:74), الجنة dan النار (al-Maidah, 5:72). seperti الحق dan الباطل (al-Baqoroh, 2:42), الدنيا dan الاخرة (an-Nisa’, 4:74), الجنة dan النار (al-Maidah, 5:72), serta semua bentuk penyebutan yang berlawanan, seperti penyebutan الرحمة setelahالعذاب, dan الرغبة setelah الرهبة.[26]
2) Hubungan antar ayat dalam satu surat
Munâsabah antar ayat, seperti yang kita lihat dalam surat al-Fâtihah ayat 6 dan 7:
$tRω÷d$# xÞºuŽÅ_Ç9$# tLìÉ)tGó¡ßJø9$# ÇÏÈ xÞºuŽÅÀ tûïÏ%©!$# |MôJyè÷Rr& öNÎgø‹n=tãÎŽöxî ÅUqàÒøóyJø9$# óOÎgø‹n=tæ Ÿwur tûüÏj9!$žÒ9$# ÇÐÈ
Artinya: Tunjukilah[27] Kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.[28]
Ungkapan al-Shirâth al-Mustaqîm pada ayat 6 dipertegas oleh ungkapan shirâth al-Ladzîna pada ayat sesudahnya.Munâsabah ayat di atas berpola tasydîd, yaitu apabila suatu ayat atau bagian ayat mempertegas arti ayat yang terletak di sampinnya.[29]
3) Hubungan antar ayat yang letaknya berdampingan
Munâsabah antar ayat yang letaknya berdampingan terkadang dapat dilihat dengan jelas dan terkadang pula tidak jelas, seperti dalam surat al-Baqarah ayat 2-3:
y7Ï9ºsŒ Ü=»tGÅ6ø9$# Ÿw |=÷ƒu‘ ¡ Ïm‹Ïù ¡ “W‰èd z`ŠÉ)FßJù=Ïj9 ÇËÈ tûïÏ%©!$# tbqãZÏB÷sムÍ=ø‹tóø9$$Î/ tbqãK‹É)ãƒur no4qn=¢Á9$# $®ÿÊEur öNßg»uZø%y—u‘ tbqà)ÏÿZムÇÌÈ
Artinya: Kitab[30] (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa,[31] (yaitu) mereka yang beriman[32] kepada yang ghaib,[33] yang mendirikan shalat,[34]dan menafkahkan sebahagian rezki[35] yang Kami anugerahkan kepada mereka.
Kata muttaqîn pada ayat kedua ditafsirkan maknanya oleh ayat ketiga. Dengan demikian, orang yang bertaqwa adalah orang yang mengimani hal-hal yang ghaib, mengerjakan shalat dan seterusnya. Bentuk munâsabah ayat di atas menggunakan polatafsîr, yaitu apabila makna suatu ayat atau bagian ayat tertentu ditafsirkan oleh ayat atau bagian ayat disampingnya.
Fenomena seperti ini, juga terdapat dalam surat al-Baqarahayat 26-27. Di akhir ayat yang pertama (26) menggunakan istilahfâsiqîn, namun tidak dijelaskan maksud atau karakteristik dari kata fâsiqîn. Maka, ayat kedualah (27) yang menjelaskan maksud dan kriteria fâsiqîn.
4) Hubungan antar pembuka dan penutup surat
Hal ini dapat kita lihat dalam surat al-Mukminûn ayat 1-11 dengan 115-118. Munâsabah ini terdapat pada dua uraian yang bertolak belakang. Uraian pertama mengandung keberuntungan (kebahagiaan) bagi kaum mukmin yang ditandai dengan pernyataan “hipotetik”[36] قد أفلح المومنون sedangkan uraian kedua kemalangan orang kafir dengan pernyataanلايفلح الكافرون .Fenomena seperti itu, dikatakan mudlâdah (pertentangan).
Untuk munâsabah antar pembuka dan penutup surat, al-Suyuthi telah mengarang sebuah kitab yang berjudul Marâsid al-Mathâli’ fi Tanâsub al-Maqâthi’ wa al-Mathâli’.
b. Munâsabah antar surat, setidaknya terdiri dari:
1) Hubungan suatu surat dengan surat sebelumnya
Munâsabah jenis ini berfungsi menerangkan atau menyempurnakan ungkapan pada surat sebelumnya, baik yang berbentuk hubungan kausalitas antara surat al-Quraisy ayat 1 dengan surat al-Fîl ayat 5, atau kesamaan konteks surat, sepertisurat an-Nabâ’ ayat 78 dengan surat an-Naziâ’t ayat 79 yang sama-sama menerangkan huru-hara yang akan terjadi pada hari kiamat dan hari kebangkitan.[37]
2) Hubungan penutup surat dengan awal surat berikutnya
Sebagai contoh, pada awalan surat al-Hadîd;
yx¬7y™ ¬! $tB ’Îû ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚö‘F{$#ur ( uqèdur Ⓝ͕yèø9$# ãLìÅ3ptø:$# ÇÊÈ
Artinya: Semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Awalan surat al-Hadîd tersebut sesuai dengan akhiran suratal-Wâqi’ah
ôxÎm7|¡sù ËLôœ$$Î/ y7În/u‘ ËLìÏàyèø9$# ÇÒÏÈ
Artinya: Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Rabbmu yang Maha besar.
Contoh lain juga terlihat pada penutup surat Yunus ayat 109والتبع ما يوحى أليك... mengenai perintah ittiba’ terhadap kitab yang Allah yang telah diwahyukan, berkaitan dengan awal surat Hûd ayat 1 آلر.كتاب أَحكمت اياته ثم فصلت mengenai pernyataan Allah bahwa al-Qur’an tersusun rapi dan terperinci.
4. Urgensi dan Kegunaan Ilmu Munâsabah
Ilmu munâsabah sangat berperan penting dalam memahami al- Qur’an, sebagaimana yang disampaikan Abdullah Darraz dalam kitabnya al-Naba’ al-Adzîm yang dikutip oleh Rosihon Anwar menyatakan bahwa:
Sekalipun permasalahan yang diungkapkan oleh surat-surat itu banyak, semuanya merupakan satu kesatuan pembicaraan yang awal dan akhirnya saling berkaitan. Maka bagi orang yang hendak memahami sistematika surat, semestinya ia memperhatikan keseluruhannya, sebagaimana juga memperhatikan segala permasalahannya.[38]
Dengan mengetahui munâsabah, kita dapat membantah yang berasumsi bahwa tema-tema al-Qur’an kehilangan relevansi antara satu bagian dengan bagian yang lain.
Setidaknya ada tiga fungsi utama dari ilmu munâsabah, yaitu:
a. Untuk menemukan arti yang tersirat dalam al-Qur’an,[39] baik dari aspek susunan dan urutan kalimat-kalimat, ayat-ayat, dan surah-surah dalam al-Quran.
b. Untuk menjadikan bagian-bagian dalam al-Quran saling berhubungan, sehingga tampak menjadi satu rangkaian yang utuh dan integral.[40]
c. Untuk menjawab kritikan orang luar (orientalis) terhadap sistematika al-Quran.
Faedah mempelajari ilmu munâsabah ini sangatlah banyak, antara lain sebagai berikut :
a. Mengetahui persambungan hubungan antar bagian al-Qur’an, baik antar kalimat-kalimat atau ayat-ayat. Sehingga, lebih memperdalam pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab al-Qur’an dan memperkuat keyakinan terhadap kewahyuan dan kemukjizatan. Izzudin Abdul Salam[41] mengatakan bahwa ilmu munâsabah adalah ilmu yang baik sekali ketika menghubungkan kalimat yang satu dengan kalimat yang lain. Beliau mensyaratkan harus terjadi pada hal-hal yang berkaitan betul, baik di awal atau di akhirnya.
c. Dengan ilmu munâsabah akan sangat membantu dalam menafsirkan dan memahami kandungan makna ayat-ayat al-Qur’an.[43]
d. Dengan ilmu munâsabah dapat diketahui mutu dan tingkat kebalaghahan bahasa al-Qur’an dan konteks kalimat-kalimatnya yang satu dengan yang lain. Serta persesuaian ayat/suratnya yang satu dari yang lain, sehingga lebih meyakinkan kemukjizatannya, bahwa al-Qur’an itu betul-betul wahyu dari Allah SWT, dan bukan buatan Nabi Muhammad Saw.[44]
5. Cara Mengetahui Munâsabah
Untuk mengetahui munâsabah al-Quran, sangatlah beragam metode yang dimunculkan. Namun, secara umum kita perlu merujuk pada sifat ke-munâsabah-an itu sendiri, baik dalam bentuk tafsîr, tasydîd, i’tirâdl, mudlâdah, istithrâd, takhollush, ataupun tamtsîl.
Di antara hal-hal yang perlu kita perhatikan dalam konteks mencari munâsabah adalah:
a. Mengetahui tema yang dibicarakan
b. Mengetahui susunan kalimat dan maknanya
c. Mengetahui asbâb al-Nuzûl
Namun, ukuran wajar tidaknya korelasi antar ayat dan antar surat dapat diketahui dari tingkat kemiripan atau kesamaan maudlu’ (tema). Jika antar ayat atau surat dengan ayat atau surat lainya terdapat persesuaian serta memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lain, maka persesuaian itu masuk akal dan dapat diterima.
B. Munâsabah dan Sistematika al-Qur’an
Sistematika al-Qur’an yang ada di hadapan kita, sebagaimana terdapat dalam mushaf utsmani, tidak berdasarkan kronologis turunnya. Salah satu penyebab perbedaan pendapat ini adalah adanya mushaf-mushaf ulama salaf yang bervariasi dalam urutan suratnya. Ada yang menyusunnya berdasarkan kronologis turunnya, seperti Mushaf Ali yang dimulai dengan ayat إقرأ باسم ربك, kemudian sisanya disusun berdasarkan tempat turunnya (Makki kemudian Madani). Sedangkan mushaf Ibnu Mas’ud dimulai dengan ملك يوم الدين, kemudian surat al-Baqarah, al-Nisa’. Berbeda jauh dengan mushaf Ubai yang dimulai dengan الحمد, kemudian al-Nisa’, Ali ‘Imran, al-An’am, al-A’raf, al-Ma’idah dan seterusnya[45]
Itulah sebabnya terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang urutan-urutan surat di dalam al-Qur’an.[46] Pendapat pertama menyatakan, bahwa sistematika al-Qur’an didasarkan pada tauqîfi.[47] Golongan kedua berpendapat, bahwa hal itu bukan tauqîfi, namun didasarkan atas ijtihâd.[48] Sedangkan golongan ketiga menyatakan bahwa mayoritas penetapan urutan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan tauqîfî, dan sebagian yang lain dengan menggunakan ijtihad shahabat.[49]
1. Sitematika Tauqîfî
Pendapat pertama, menyatakan bahwa surat-surat al-Qur’an disusun berdasarkan tauqîfî,[50] kepastian dari Rasulullah Saw. Beliaulah yang memerintahkan, membimbing dan mengisyaratkan secara langsung dalam penyusunan surat-surat al-Qur’an, bukan sistematika yang “asal-asalan” dan sembarangan, serta tidak ada penambahan maupun pengurangan sedikitpun dari ayat-ayat dan surat-surat al-Qur’an.
Al-Qadli Abu Bakar bin al-Thayyib dan Abu Bakar bin al-Ambari mengatakan bahwa Allah telah menurunkan al-Qur’an secara keseluruhan di sama’ al-Dun-ya (langit bumi), kemudian diturunkan secara terpisah yang disesuaikan dengan realitas kehidupan. Dan secara langsung malaikat Jibril menentukan (wahyu) pada Nabi sistematika ayat dan surat al-Qur’an.[51] Al-Karmani[52] menegaskan bahwa tartîb al-Suwar(sitematika surat al-Qur’an) yang ada saat ini sesuai dengan yang ada dilauh al-Mahfûdh.[53]
Sedangkan ulama ulama kontemporer cenderung menjadikan urutan surat dalam mushaf sebagai tauqifî karena pemahaman seperti itu sejalan dengan konsep tentang eksistensi teks azali yang ada di lauh al-mahfudh.[54]
2. Sistematika Taufîqî
Golongan kedua berpendapat bahwa urutan surat-surat dalam al-Qur’an didasarkan atas ijtihad para sahabat dan setelah itu rasulullah Saw. menetapkan pada umatnya.[55]
Golongan ini berargumentasi dengan adanya mushaf-mushaf pribadi beberapa orang sahabat yang sistematika surat tersebut saling berbeda satu sama lain. Mushaf Ibnu Mas’ud misalnya, dimulai dengan surat al-Fâtihah, al-Baqarah, an-Nisa’, Ali Imran dan seterusnya. Demikian juga dengan mushaf Ubay. Mushaf Ali disusun berasarkan urutan turunnya ayat, karenanya dimulai dengan surat al-‘Alaq, kemudian al-Mudatstsir, Nûn, Qalam dan seterusnya.[56]
3. Sistematika Tafshîl
Pendapat yang mentafshil (merinci) penyusunan surat dalam al-Qur’an, antara tauqifî dan taufîqî, sebagian ayat berdasarkan petunjuk nabi (tauqîfî), sedangkan sebagian yang lain adalah hasil ijtihad para sahabat (taufîqî), adalah terletak pada dua surat, yaitu surat al-Anfal danBara’ah.[57]
Perbedaan antara urutan “turun” dan urutan “pembacaan” merupakan perbedaan yang terjadi dalam susunan dan penetapan. Melalui perbedaan susunan dan penetapan ini, “persesuaian” antar ayat dalam satu surat, dan antar surat, sisi lain dari aspek-aspek I’jaz dapat disingkapkan.[58]
Secara sepintas jika diamati urut-urutan teks dalam al-Qur’an mengesankan al-Qur’an memberikan informasi yang tidak sitematis dan melompat-lompat. Oleh karena itu, sebagaimana telah disinggung oleh Abu Zaid, bahwa ilmu munâsabah adalah ilmu “stilistika” dengan pengerian bahwa ilmu ini memberikan perhatiannya padabentuk-bentuk keterkaitan antara ayat-ayat dan surat-surat.[59] Maka dalam konteks pembacaan secara holistik pesan spiritual al-Qur’an, salah satu instrumen teoritiknya adalah dengan ‘ilm al-munâsabah.
Keseluruhan teks dalam al-Qur’an, merupakan kesatuan struktural yang bagian-bagiannya saling terkait. Keseluruhan teks al-Qur’an menghasilkan pandangan dunia (world view) yang pasti. Dari sinilah umat Islam dapat memfungsikan al-Qur’an sebagai kitab petunjuk (hudan) yang betul-betul mencerahkan (enlighten) dan mencerdaskan (educate).
C. Diskursus Penggunaan Intrateks (munâsabah) dalam Penafsiran al-Qur’an
Penggunaan munâsabah dalam menafsirkan al-Qur’an tidak terlepas dari fungsi dan tujuan ilm al-Munâsabah, yaitu menjadikan al-Quran satu kesatuan yang utuh,[60] bukan pembacaan atomistik. ‘Ilm al-Munâsabah(sebenarnya), memberi langkah strategis untuk melakukan pembacaan terhadap al-Qur’an secara utuh, komprehensif, dan holistik. Namun, dengan catatan, metode yang digunakan untuk melakukan “perajutan” antar surat dan antar ayat haruslah tepat, sesuai dengan koridor-koridor ilm al-Munâsabah.
Penggunaan ilmu munâsabah dalam menafsirkan al-Qur’an, tidak secara utuh diterima dalam semua kalangan. Pro-kontra kajian munâsabahantara pentingnya mengedepankan munâsabah dan tidak perlu adanyamunâsabah telah menjadi konsumsi publik yang tidak terpisahkan dari kajian ‘ulûm al-Qur’ân. Pertanyaan besar tentang apakah adanya munâsabahitu bersifat tauqifî atau ijtihâdi mengemuka dan perlu adanya jawaban akademik. Pertanyaan ini bisa jadi sangat menarik untuk di bawa ke ranah diskusi yang akademik, dan –kemudiaan– di susul dengan menyoal pada tataran lebih dalam, apakah perlu adanya munâsabah al-Qur’ân atau bisa jadi kalau pendapat yang sangat ekstrim tidak perlu adanya munâsah.
1. Pro-Kontra Ilm al-Munâsabah
Membuat keterikatan antara ayat-ayat al-Qur’an hingga menjadi satu kasatuan yang utuh adalah dedikasi dari ilmu munâsabah. Namun demikian, ilmu munâsabah tetap menuai kontroversi, antara tauqîfî dantaufîqî, menerima dan menolaknya, ada dan ketiadaannya serta relevansi antar ayat-ayat dalam al-Qur’an.
Umar bin Salim mengatakan bahwa ilmu munâsabah bukanlahtauqîfî, namun berdasarkan ijtihad mufassir.[61] Oleh karena itu, sebagian ulama tidak memperbolehkan mencari korelasi ayat-ayat al-Qur’an, hal ini karena dimensi historitas teks, ayat-ayat al-Qur’an diturunkan berdasarkan konteksnya, dengan sebab yang berbeda-beda (sebab khusus). Dengan demikian, tidak ada korelasi antara ayat yang satu dengan yang lainnya.
Sedangkan yang membolehkan akan adanya munâsabah berasumsi bahwa al-Qur’an adalah satu kesatuan.[62] Tugas mufassir adalah berusaha menemukan dan mengungkapkan hubungan-hubungan tersebut.[63] Oleh karena itu, untuk mengungkapkan hubungan-hubungan tersebut dibutuhkan kemampuan dan ketajaman pandanganmufassir dalam menangkap cakrawala teks. Hubungan-hubungan ataumunâsabah-munâsabah antara bagian-bagian teks pada dasarnya merupakan sisi lain dari hubungan antara akal mufassir atau pembaca dengan data-data teks.[64] Dengan demikian, dapat dipahami bahwa ilm al-Munâsabah merupakan ilmu yang rasional yang berasaskan pemikiran(ra’yun) mufassir.
Terlepas dari pembolehan pencarian munâsabah dalam al-Qur’an, bukan berarti harus bebas nilai dan tanpa aturan. Muhammad bin Umar bin Salim[65] memberikan syarat-syarat bolehnya mencari munâsabahsebagai berikut:
b. Korelasi (munâsabah) tidak bertentangan dengan syari’at.
c. Korelasi (munâsabah) harus sesuai dengan tafsir ayat.
d. Korelasi (munâsabah) tidak bertentangan dengan pengguna awal bahasa (bangsa Arab).
e. Mengetahui ilm munâsabah.
2. Polemik Munâsabah dan Asbâb al-Nuzûl
Asbâb al-Nuzûl adalah subuah cabang dari ‘ulûm al-Qur’an yang memperhatikan pada hal ihwal kondisi, suasana, keadaan, atau kejadian di mana al-Qur’an diturunkan.[67] Dengan demikian, memahami asbâb al-Nuzûl sama halnya dengan memahami konteks penurunan al-Qur’an. Menurut teori ‘ulûm al-Qur’an klasik, sumber utama dari asbâb al-Nuzûlberupa riwayat-riwayat yang menceritakan tentang sebab turunnya ayat al-Qur’an.[68]
Perbedaan antara munâsabah dan asbâb al-Nuzûl, yaitu, jikamunâsabah mengkaji hubungan-hubungan teks dalam bentuknya yang akhir dan final, sementara asbâb al-Nuzûl mengkaji hubungan bagian-bagian teks dengan kondisi ekstrnal, atau konteks eksternal pembentuk teks.[69] Ilmu asbâb al-Nuzûl adalah ilmu historis, sedangkan ilmumunâsabah adalah ilmu stilistika yang memberikan perhatiannya pada bentuk-bentuk keterkaitan antar ayat-ayat dan surat-surat.
Turunnya ayat al-Qur’an tidak terlepas dari konteks di mana ia diturunkan serta sebab-sebab yang terjadi. Meskipun tidak semua ayat-ayat al-Qur’an mempunyai sebab, sebagaimana yang dikatakan al-Shuyuthi bahwa ayat al-Qur’an turun dalam dua bentuk: pertama, ibtida’an, turun yang tidak didahului oleh sebab-sebab tertentu, kedua,ayat yang turun karena sebab-sebab tertentu.[70] Misalnya, karena ada peristiwa, atau persoalan yang diajukan pada Nabi tentang hukum syari’at, kemudian turunlah ayat yang menjawab pertanyaan tersebut.[71]
Dengan demikian, apakah al-‘Ibrah bi Umûm al-Lafdhi la bi Khushûshi al-Sabab atau al-‘Ibrah bi Khushûshi al-Sabab la bi Umûm al-Lafdhi?
Dalam memahami kaedah di atas, yang perlu diingat bahwa, asbâb al-Nuzûl pada hakikatnya hanyalah salah satu alat bantu berupa contoh untuk menjelaskan makna redaksi-redaksi ayat al-Qur’an, namun cakupannya tidak terbatas pada ruang lingkup sebab turunnya suatu ayat.[72]
Apabila kita menemukan ayat-ayat al-Qur’an yang konteks pembicaraannya bersifat khusus terhadap kasus tertentu dan berkaitan dengan suatu hukum, maka ketentuan itu tidak terbatas pada kasus itu saja, tetapi berlaku secara umum. Karena, aturan tertentu dalam al-Qur’an juga bisa menghasilkan prinsip-prinsip hukum yang bersifat umum yang kemudian dapat diterapkan pada situasi lain.[73]
Dengan memperhatikan asbâb al-Nuzûl, kita dapat memahami makna yang dikehendaki oleh teks, sesuai dengan awal lahirnya sebuah teks. Oleh karena itu, mengkorelasikan ayat-ayat atau surat-surat dalam al-Qur’an harus tetap memperhatikan asbâb al-Nuzûl. Apabila suatu ayat mempunyai sebab-sebab tersendiri dan atau berlainan, maka tidak diperbolehkan menjadikan ketersambungan antara yang satu dengan yang lain. Sedangkan orang yang menghubung-hubungkan hal demikian berarti ia telah memaksakan diri dalam hal yang sebenarnya tidak dapat dihubung-hubungkan kecuali dengan cara sangat lemah yang tidak dapat diterapkan pada kata-kata yang baik, apalagi yang lebih baik.[74]
Meskipun dalam mencari munâsabah tidak disyaratkan adanya kesamaan waktu turunnya ayat-ayat, karena zaman penurunan al-Qur’an hanya disyaratkan pada sabâb al-Nuzûl bukan pada sisi munâsabahnya, karena maksud dari munâsabah adalah meletakkan ayat al-Qur’an pada posisi yang berhubungan.[75] Hal yang demikian ini tidak berarti bahwa seorang mufassir harus mencari kesesuaian bagi setiap ayat, karena al-Qur’an diturunkan dalam waktu yang lama (22 tahun 2 bulan 22 hari) dan bertahap sesuai dengan berbagai persoalan yang terjadi serta dengan sebab yang berbeda-beda.
Ilmu munâsabah dan asbâb al-Nuzûl memandang teks dari sudut pandang yang berbeda. Ilmu munâsabah memandang sebuah teks dari segi keterkaitan kebahasaan, stilistika, rasionalitas, hubungan-hubungan dalam teks. Sementara asbâb al-Nuzûl memandang teks dari segi acuannya dan keterkaitannya dengan peristiwa-peristiwa atau realitas di luar teks. Perbedaan kedua sudut pandang tersebut bertemu pada titik penyingkapan makna dari sebuah teks.
[1]Muhammad bin Umar bin Salim, Ilm al-Munâsabah fi al-Suwâr wa al-Âyât , (al-Maktabah al-Makkiyah, t.t.), hlm. 27.
[2]Manna’ Khalil al-Qoththan, Mabâhits fi ‘Ulûm al-Qur’an, (Surabaya: al-Hidayah, t.t.), terj. Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, (Bogor: PT. Pustaka Litera Antarnusa, 2009), hlm.137.
[4]Muhammad Khirzin, al-Qur’an dan Ulum al-Qur’an, (Yogyakarta: Dana Bakti Prima Yasa,1998), hlm. 50.
[6]Jalaluddin al-Suyuthi, al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’an, (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2012), hlm. 471.
[10]Manna’ Khalil al-Qoththân, Mabâhits fi ‘Ulûm al-Qur’an, (Surabaya: al-Hidayah, t.t.), hlm. 97.
[12]Burhanuddin al-Biqa’i, Nadzm al-Durar fi Tanâsub al-Ayât wa al-Suwar, (Kairo: Dar al-Kutub al-Islami, 1480), I: 6.
[13]Rosihon Anwar, Ulmul Quran, hlm. 86. Lihat pula dalam, Jalaluddin al-Suyuthi, al-Itqân, hlm. 471. Dan al-Zarkasyi, al-Burhân, I: 48. Serta dalam,Liliek Channa, Ulum Qur’an dan Pembelajarannya, hlm. 209-210.
[15]Muhammad Chirzin, al-Qur’an dan Ulum al-Qur’an, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1999), hlm. 49.
[16]Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Studi al-Qur’an,(Surabaya: IAIN SA Press, 2011), hlm. 218.
[17]Hal ini terindikasikan apabila al-Qur’an dibacakan kepada al-Naisaburi, maka ia bertanya mengapa ayat ini ditempatkan di samping sebelahnya dan apa hikmahnya. Bahkan ia mencela para ulama Baghdad karena mereka tidak memperhatikan ‘ilm al-munâsabah. Lihat, al-Zarkasyi,al-Burhân, I: 49.
[18]Rosihon Anwar, Ulumul Quran, hlm. 84. Bandingkan dengan Kadar M. Yusuf, Studi al-Qur’an, hlm. 101.
[22]Ibid., hlm. 94.
[23]Munâsabah yang tersembunyi (mudlmar) adalah keterkaitan atau keserasian yang tidak jelas pada lahiriyahnya, suatu ayat seakan terasing dari ayat yang lain atau alur pembicaraannya tidak ada ketersambungan. Tetapi, apabila dianalisis secara dalam akan terlihat keterkaitannya.Munâsabah ayat-ayat seperti ini dapat dilihat dari empat aspek, 1) ayat tersebut dihubungkan dengan huruf athaf, 2) al-Mudladah (berlawanan), 3)Istidlradl (sampai), 4) Takhallush (peralihan). Lihat, Kadar M. Yusuf, Studi al-Qur’an, hlm. 105-109.
[24]Bersemayam di atas 'Arsy ialah satu sifat Allah yang wajib kita imani, sesuai dengan kebesaran Allah dan kesucian-Nya. (quran in word ver. 1.3)
[25]Yang dimaksud dengan yang naik kepada-Nya antara lain amal-amal dan do´a-do´a hamba. (quran in word ver. 1.3)
[26]Lihat, al-Zarkasyi, al-Burhân, I: 52. Selengkapnya bisa dilihat pula dalam Muhammad bin Umar bin Salim, Ilm al-Munâsabah, hlm. 45.
[27]Ihdina (tunjukilah kami), dari kata hidayaat: memberi petunjuk ke suatu jalan yang benar. Yang dimaksud dengan ayat ini bukan sekedar memberi hidayah saja, tetapi juga memberi taufik. (quran in word ver. 1.3)
[28]Yang dimaksud dengan mereka yang dimurkai dan mereka yang sesat ialah semua golongan yang menyimpang dari ajaran Islam. (quran in word ver. 1.3)
[30]Tuhan menamakan Al Quran dengan Al kitab yang di sini berarti yang ditulis, sebagai isyarat bahwa Al Quran diperintahkan untuk ditulis. (quran in word ver. 1.3)
[31]Takwa Yaitu memelihara diri dari siksaan Allah dengan mengikuti segala perintah-perintah-Nya; dan menjauhi segala larangan-larangan-Nya; tidak cukup diartikan dengan takut saja. (quran in word ver. 1.3)
[32]Iman ialah kepercayaan yang teguh yang disertai dengan ketundukan dan penyerahan jiwa. tanda-tanda adanya iman ialah mengerjakan apa yang dikehendaki oleh iman itu. (quran in word ver. 1.3)
[33]Yang ghaib ialah yang tak dapat ditangkap oleh pancaindera. percaya kepada yang ghjaib yaitu, mengi'tikadkan adanya sesuatu yang maujud yang tidak dapat ditangkap oleh pancaindera, karena ada dalil yang menunjukkan kepada adanya, seperti: adanya Allah, malaikat-malaikat, hari akhirat dan sebagainya. (quran in word ver. 1.3)
[34]Shalat menurut bahasa 'Arab: doa. menurut istilah syara' ialah ibadat yang sudah dikenal, yang dimulai dengan takbir dan disudahi dengan salam, yang dikerjakan untuk membuktikan pengabdian dan kerendahan diri kepada Allah. mendirikan shalat ialah menunaikannya dengan teratur, dengan melangkapi syarat-syarat, rukun-rukun dan adab-adabnya, baik yang lahir ataupun yang batin, seperti khusu', memperhatikan apa yang dibaca dan sebagainya. (quran in word ver. 1.3)
[35]Rezki: segala yang dapat diambil manfaatnya. menafkahkan sebagian rezki, ialah memberikan sebagian dari harta yang telah direzkikan oleh Tuhan kepada orang-orang yang disyari'atkan oleh agama memberinya, seperti orang-orang fakir, orang-orang miskin, kaum kerabat, anak-anak yatim dan lain-lain. (quran in word ver. 1.3)
[37]Lembaga kajian, Tafsir al-‘Usyri al-Akhîr, (t.tp: Maktabah Da’wah, 1429.H), hlm. 46-47.
[38]Ibid., hlm. 100.
[39]Muhammad bin Umar bin Salim, Ilm al-Munâsabah, hlm. 38.
[40]Sebagaimana yang disinggung oleh Ibn al-Arabi dalam kitabnyaSirâj al-Muridin yang dikutip oleh Burhanuddin al-Biqa’i, Nadzm al-Durar, I: 7.
[45]Ahmad bin Ibrahim bin al-Zubair al-Tsaqafi, al-Burhân fi Tanâsub Suwar al-Qur’an, (Saudi: Dar Ibn al-Jauzi, 1428), hlm. 47.
[46]Perbedaan pendapat mengenai sistematika al-Qur’an ini hanya pada tataran urutan surat dalam al-Qur’an, sedangkan untuk wilayah urutan ayat-ayat al-Qur’an, ulama sepakat bahwa hal itu adalah tauqifî. Lihat Ahmad bin Ibrahim bin al-Zubair al-Tsaqafi, al-Burhân fi Tanâsub Suwar al-Qur’an,(Saudi: Dar Ibn al-Jauzi, 1428), hlm. 44.
[47]al-Zarkasyi, al-Burhân, I: 50. Abu Zaid memandang urutan surat dianggap tauqîfi karena pemahaman seperti itu sesuai dengan konsep wujud teks imanen yang sudah ada di lauh al-Mahfûdz, sebagai usaha menyingkapkan sisi lain dari I’jaz. Argumentasi ini dapat dilihat dalam, Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur’an: Kritik Terhadap Ulumul Qur’an, terj. Khairan Nahdiyyin, (Yogyakarta: LkiS, 2003), hlm. 197.
[52]Yaitu Abu al-Qasim Burhan al-Din Mahmud bin Hamzah bin Nashr al-Karmani al-Syafi’I, wafat tahun 500 H.
[54]Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur’an : Ktitik Terhadap Ulumul Qur’an, terj. Khairan Nahdiyyin, (Yogyakarta : LkiS, 2003), hlm. 197.
[55]Ahmad bin Ibrahim bin al-Zubair al-Tsaqafi, al-Burhân, hlm. 47.
[56]Manna’ al-Qaththan. Mabahits fi Ulumil Qur’an, terj. Mudzakir AS(Bogor : Pustaka Lentera AntarNusa, 2012), hlm. 208.
[63]Mengungkpkan hubungan-hubungan antar ayat dan hubungan-hubungan antar surat, bukan berarti menjelaskan hubungan-hubungan yang memang ada secara inherent dalam teks, tetapi membuat hubungan antara akal mufassir dengan teks. Melalui hubungan inilah, hubungan antar bagian teks dapat diungkapkan. Lihat, Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur’an, hlm. 199.
[66]Dalam hal ini, seorang mufassir harus memahami dan mengetahui sebab khusus suatu ayat sebelum melakukan munâsabah ayat-ayat al-Qur’an. Karena apabila terjadi berbagai sebab yang berbeda-beda (pada sebuah ayat), maka keterkaitan salah satu ayat dengan yang lainnya tidak menjadi syarat adanya korelasi. Sedangkan mufassir yang –tetap- mengaitkan, berarti telah melakukan pemaksaan sebuah teks, yang (pada gilirannya) justru akan mendistorsi kehendak (penggagas/author) teks.
[70]Aksin Wijaya, Arah Baru Studi ‘Ulûm Al-Qur’an; Memburu Pesan Tuhan di Balik Fenomena Budaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2009), hlm. 139. Lihat pula, Jalaluddin al-Suyuthi, al-Itqân, hlm. 48.
[71]Muhammad Ali al-Shabuni, al-Tibyân fi ‘Ulûm al-Qur’an, (Jakarta: Dar al-Kutub al-Islami, 2003), hlm. 24.
[73]Ingrid Mattson, Ulumul Quran Zaman Kita; Pengantar Untuk Memahami Konteks, Kisah dan Sejarah Al-Quran, terj. R. Cecep Lukman Yasin (Jakarta: ZAMAN, 2013), hlm. 299.
[74]Manna’ Khalil al-Qaththan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, terj. Mudzakir AS (Jakarta: Litera Antar Nusa, 2010), hlm. 139.
[75]Muhammad bin Umar bin Salim, Ilm al-Munâsabah, hlm. 55.
0 comments:
Post a Comment