Lintas Kilas Sejarah: Sebuah Prolog
Kekerasan atas nama agama merupakan kejahatan terburuk yang justru akan mencoreng agama itu sendiri. Peristiwa 11 September 2001, empat serangkai serangan bunuh diri di New York City dan Washington, D.C. mengawali keburaman wajah Islam di kancah barat. Aksi teror tersebut menjadi pemicu besar dalam mengklaim “teroris” terhadap Islam. Islam dipandang sebagai agama yang menebarkan kekerasan dan permusuhan.
Agama diklaim sebagai pemicu konflik dan kekerasan.[1]Aksi kekerasan (teror) yang mengatasnamakan jihad di jalan Allah telah berubah menjadi topeng keislaman. Padahal agama merupakan sebuah pilihan dan tidak dapat dipaksakan dengan aksi teror. The Wahid Institute, dalam laporan tahunan kebebasan beragama/berkeyakinan dan intoleransi, mencatat pelanggaran KBB sepanjang tahun 2014 berjumlah 158 peristiwa dengan 187 tindakan.[2] Dari jumlah tersebut, 80 peristiwa melibatkan 98 aktor negara; sementara 78 peristiwa melibatkan 89 aktor non-negara.[3]
Kejadian-kejadian tersebut, hanya merupakan contoh kecil dalam aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama. Persoalan tersebut penting untuk diketengahkan dengan beberapa alasan. Pertama, dalam rangka meninjau kembali hakikat pengajaran sebuah agama (Islam). Kedua, memberikan pemahaman yang benar dan yang diinginkan suatu agama. Ketiga, dalam rangka membangun hubungan kerukunan antar umat manusia.
Islam: Agama Cinta dan Toleransi
Islam merupakan agama cinta, kasih dan sayang.[4] Sejak awal pertama kali Islam muncul di masyarakat majemuk (Arab: banyak agama, suku dan budaya) sudah memperlihatkan bahwa dirinya (Islam) merupakan agama yang rah}matan li> ‘a>lami>n[5] (rahmat bagi seluruh alam) yang membawa kedamaian dan tidak membedakan satu sama lain.[6] Kata rah}mah berorientasi pada kemaslahatan umat manusia (pada umumnya) dan kehidupan yang tentram (dunia dan akhirat).[7]
Nabi Muhammad (sebagai pembawa ajaran) adalah seorang yang penuh cinta dan kasih sayang. Hal itu terbukti dengan label habi>bulla>h yang disematkan padanya. Rasa cinta dan kasih sayang tidaklah mungkin menebarkan kebencian dan permusuhan, karena rasa cinta, sebagaimana dikutip Fathullah Gulen, tokoh besar Sufi: Imam Rabbani, Mawlana Khalid, dan Syah Waliyullah mengatakan bahwa cinta adalah pemberhentian tertinggi dari tindakan spiritual.[8]
Cinta merupakan pengikat terkuat yang menjilid seluruh ciptaan (creatures) secara bersamaan. Interpretasi yang tepat dari ajaran Islam lebih mengajarkan pada nilai-nilai yang benar-benar spiritual, seperti pengampunan (forgiveness), kedamaian batin (inner peace), keharmonisan sosial (sosial harmony), kejujuran (honesty), dan kepercayaan pada tuhan (trust in god).[9]Fathullah Gulen menyatakan bahwa kekerasan atas nama jihad merupakan kesalahan interpretasi terhadap ayat-ayat jihad. Karena –menurut Gulen- jihad adalah upaya pembelaan diri dari tindakan arogansi dan radikalisme dalam memelihara kemaslahatan yang menjadi maqa>sid al-syari>’ah.[10] Perang merupakan alternatif paling terakhir dalam menghadapi kemungkaran. Selama masih dapat ditempuh dengan jalan damai, maka perdamaianlah yang dikehendaki oleh Islam, sebagaimana yang digariskan dalam al-Qur’an surahal-Anfa>l ayat 61. “Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Ajaran perdamain (Islam) telah dipraktikkan oleh Nabi dan para Sahabatnya dalam bersyiar. Dalam mewujudkan perdamaian di Madinah, Nabi memprakarsai Piagam Madinah yang berisi prinsip-prinsip aturan kehidupan dan keagamaan yang mengakui dan menghargai eksistensi semua agama dan suku.[11] Ud’u> sabi>li rabbika bi al-h}ikmah wa al-maw’idhah al-h}asanah,dengan hikmah dan pengajaran yang baik. QS. al-Nah}l [16] : 125 mengindikasikan larangan melakukan hal-hal yang “anarkis” dan kekerasan dalam berdakwah.
Dalam tafsir Ibn Kathi>r, Imam Ibnu Jarir menyebutkan bahwa maksud dari kata h}ikmah adalah wahyu yang telah diturunkan oleh Allah berupa al-Qur’an dan al-Sunnah.[12] Zamakhshari> mengartikan kata al-h}ikmah dengan sesuatu yang pasti benar, yaitu dalil yang menghilangkan keraguan ataupun kesamaran.[13] Hemat penulis, dalam konteks ini, hikmah merupakan suatu konsep berdakwah dengan harmonisasi nilai-nilai al-Qur’an pada ranah aplikatif keseharian.
Sedangkan maw’iz}ah h}asanah, dalam tafsi>r al-Baghawi> dijelaskan bahwa berdakwah dengan al-maw’iz}ah al-h}asanah adalah mengajak manusia dengan lemah-lembut bukan dengan cara-cara tidak sopan atau bahkan kekerasan. Di samping itu, juga memberikan kabar gembira dan ancaman.[14]Al-Jauzi memaknai al-maw’iz}ah h}asanah pada dua hal, pertama adalah pelajaran dari al-Qur’an. Kedua adalah tingkah laku yang baik yang telah ma’ruf.[15] Dari beberapa pengertian tersebut dapat dipahami bahwamaw’iz}ah h}asanah merupakan suatu ajakan atau nasehat –kepada kebenaran dan kebaikan, serta menjauhkan diri dari perbuatan yang tidak baik- dengan cara terbaik.
Al-Qurt}ubi> menyatakan bahwa ayat tersebut (QS. al-Nah}l [16] : 125) turun di Makkah berkaitan dengan adanya perintah kepada Rasulullah Saw. untuk melakukan gencatan senjata (muha>danah) dengan pihak Quraisy dalam menyeru beragam Islam. Ayat ini turun sebagai koreksi pada Nabi Muhammad untuk tidak melakukan peperangan dalam menyerukan agama, karena Islam bukan merupakan agama yang mengajarkan kekerasan.[16]Namun, realitas yang terjadi di era ini, kita masih menyaksikan kekerasan atas nama agama (jihad). Kenapa? Azyumardi Azra menyatakan bahwa pemahaman mereka terhadap ayat-ayat al-Qur’an dipengaruhi kondisi subjektif dan perspektif yang lain dari lingkungannya. World view-nya tidak semata-mata dikuasai atau diwarnai oleh Islam, namun juga terkontaminasi perspektif lain, seperti ekonomi, politik, kepentingan kelompok dan lain sebagainya.[17]
Al-Qur’an merupakan kitab suci yang hendak meletakkan kemanusiaan sebagai landasan ideal.[18] Dengan kata lain, unsur pembeda pada realitas kehidupan sosial-kemasyarakatan merupakan suatu ciri yang diciptakan oleh masyarakat itu sendiri, yang pada akhirnya melahirkan ras, kelompok, golongan, budaya dan keyakinan tertentu. Dalam kajian ilmu sosial disebut dengan klasifikasi sosial. Klasifikasi sosial akan mencipta sebuah gap relasi sosial. Dengan pengelompokan sosial, sebagaimana yang diteorikan Kai Erikson dengan boundary maintenance” atau penjagaan batas. Dalam artian bahwa, masyarakat akan cenderung menjaga batasan-batasan yang dapat diterima dan tidak dapat diterima berdasarkan nilai-nilai yang secara kolektif mereka hayati.[19]
Prinsip persamaan antar manusia merupakan suatu prinsip dasar dalam pemeliharaan kerukunan sosial.[20] Peng-klas-an sosial akan berpotensi lahirnya kesenjangan sosial yang pada ujungnya melahirkan konflik sosial. Skat-skat pembatas sosial selayaknya tidak diperuncing dan dipersoalkan. Dengan begitu, keharmonisan akan tercipta dengan sendirinya. Karena konflik sosial bermula dari sistem stratifikasi-ideal sosial, sehingga suatu individu hanya berpendirian pada suatu kelompok tertentu dan tidak ada rasa toleransi.[21]
Sebagai makhluk sosial, egosentrisme merupakan suatu sikap yang sulit dinafikan: suatu sikap yang menjadikan diri sendiri sebagai titik pusat pemikiran (perbuatan), menilai segalanya dari sudut pandang diri sendiri. Hanya diri sendirilah yang benar, sedangkan yang lain salah. Lebih lanjut, sikap demikian menjalar ke arah penolakan terhadap keberagaman. Selain itu, fanatisme (individu maupun kelompok) merupakan suatu sikap yang –diistilahkan oleh Nabi dengan sebutan ‘as}abi>yah atau ta’as}s}ub- membuat percerai-beraian. Mereka kokoh membela kendatipun salah: faktor kelompok, keluarga, aliran dan lain semacamnya. Al-Qur’an hadir salah satu misinya adalah untuk menghilangkan sikap fanatik buta tersebut.[22]
Konflik sosial dan keburaman nilai kemanusian terjadi –antara lain- karena hilangnya rasa cinta dan sikap toleransi. Toleransi akan menghantarkan pada pemahaman yang benar terhadap perbedaan kecendrungan manusia, baik dari aspek opini, world view, ideologi, etnisitas.[23] Keberagaman jika dilihat secara sepihak dan tendensius-sentimental akan melahirkan kesenjangan sosial dan permusuhan. Azyumardi Azra menilik keberagaman sebagai sunnatulla>h yang niscaya, yang seharusnya disikapi secara wajar, ditolelir dan dihargai.[24]
Seluruh umat manusia –pada dasarnya- menghendaki kehidupan yang damai. Namun, terkadang perbedaan atau keberagaman menjadi pemicu kesenjangan dan permusuhan. Toleransi merupakan fundamen dan esensi Islam. Hal ini sebagai jawaban Tuhan agar toleransi dijadikan sebagai bagian utama dalam keberagaman.[25] Toleransi adalah suatu sikap menghargai dan menghormati terhadap sesama, baik terhadap sesama Muslim maupun dengan nonmuslim, tidak mementingkan diri sendiri dan juga tidak memaksakan kehendak.[26] Toleransi antar umat beragama yang –dewasa ini- sangat plural perlu dilestarikan, selama tidak mengorbankan akidah.[27]
Zuhairi Misrawi dengan mengutip Abdul Husein Sya’ban mengatakan bahwa permusuhan terjadi karena sikap intoleransi dan tidak mengerti arti sesungguhnya toleransi. Baik, toleransi pada level individu maupun kolektif: kelompok, organisasi maupun partai politik. Kita banyak menyaksikan peperangan, pembantaian dan pembunuhan massal yang disebabkan krisis toleransi, pemberangusan kebebasan berpendapat dan peminggiran kelompok lain.[28] Toleransi merupakan salah satu ukuran maksimal keadaban dan peradaban sebuah bangsa.[29] Semakin toleran suatu bangsa akan berpotensi terbangunnya peradaban dan keadaban. Intoleransi melahirkan konflik yang tak berpenghujung yang akan menghambat peradaban.
QS. Al-H{ujura>t [49] : 11 dengan jelas menyatakan bahwa perbedaan (di hadapan Allah) bukanlah diciptakan berdasarkan ras, suku, bangsa dan Negara, melainkan –hanya- karena ketaqwaannya. Teks suci ini seharusnya menjadi acuan umat Islam dalam membangun kesatuan umat manusia dalam mendongkrak solidaritas sosial.[30] Perbedaan adalah sunnatulla>h, sudah selayaknya disikapi dengan bijak dan proporsional. Pada titik inilah, toleransi menjadi urgen bagi semua pihak, setidaknya mencakup beberapa prinsip dasar, antara lain: prinsip saling menghargai dan menghormati, prinsip saling menciptakan kehidupan yang damai, prinsip saling tenggang rasa, dan prinsip saling tolong menolong.[31]
Dalam sebuah artikel yang berjudul Islam and violence, John L. Esposito menyatakan bahwa Islam adalah agama cinta damai. Ia menulis, Qur’anic verses also underscore that peace, not violence and warfare, is the norm”[32] (norma yang tertuang dalam al-Qur’an sangat memperhatikan perdamaian, bukan kekerasan dan peperangan). Jalan damai merupakan pondasi penting dalam Islam,[33] sebagaimana tercermin dalam QS. al-Anfa>l [8] : 61.
Hubungan Antar Umat Beragama:
Kajian Pendekatan Toleransi Beragama dan Keberagaman dalam Islam
لَآ إِكۡرَاهَ فِي ٱلدِّينِۖ قَد تَّبَيَّنَ ٱلرُّشۡدُ مِنَ ٱلۡغَيِّۚ فَمَن يَكۡفُرۡ بِٱلطَّٰغُوتِ وَيُؤۡمِنۢ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱسۡتَمۡسَكَ بِٱلۡعُرۡوَةِ ٱلۡوُثۡقَىٰ لَا ٱنفِصَامَ لَهَاۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ٢٥٦
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. QS.al-Baqarah [2] : 256
Ayat tersebut menyatakan secara jelas tentang toleransi beragama. Dalam memaknai ayat tersebut, T{a>hir bin ‘A<shu>r menyatakan bahwa secara tegas Islam melarang pemaksaan dalam memeluk agama, karena keimanan akan datang dengan sendirinya melalui dalil-dalil dan upaya pemikiran.[34] Ayat ini turun setelah penaklukan Makkah (fath} makkah) yang juga menghapus (na>sikh) ayat-ayat pembunuhan, di antaranya adalah QS. al-Tahri>m [66] : 9.[35]
Selain itu, di ayat yang lain al-Qur’an menyatakan bahwa barangsiapa yang ingin beriman hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin kafir biarlah ia kafir.[36] Karena, jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya.[37] Secara tegas kedua ayat tersebut menyatakan kebebasan beragama: suatu pilihan sepenuhnya dihadapkan pada umat manusia.[38] Kewajibanmu tidak lain hanyalah menyampaikan (risalah).[39]
Kehidupan yang rukun: solidaritas sosial, merupakan landasan ajaran keislaman. Jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya.[40] Selama kehidupan antar umat beragama (lintas agama) berjalan damai manusiawi; hidup rukun, maka selayaknyalah kita memelihara kerukunan tersebut. Memperolok-olok, mencela dan merendahkan suatu individu atau golongan merupakan hal yang tidak diajarkan dalam Islam. Karena, boleh jadi yang diolok-olok, dicela dan yang direndahkan adalah lebih baik dari kita.[41]
Seseorang yang berpedoman pada ajaran agama dengan baik dan benar seharusnya tidak melakukan aksi-aksi yang menimbulkan kerusakan dan konflik. Di dalam agama, sejatinya pembalasan terhadap sikap tidak baik (kemungkaran) yang dilakukan orang lain terhadap kita harus dilakukan dengan cara-cara yang lebih baik. Hal itu, tertuang dengan jelas dalam QS. al-Mu’minu>n [23] : 96, bahwa tolaklah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik, kami lebih mengetahui apa yang mereka sifatkan.
Dalam pola interaksi sosial, Islam mengajarkan untuk saling membantu antar sesama umat manusia: muslimkah atau nonmuslimkah. QS. al-Ma>’idah [5] ayat 2 dengan jelas memerintahkan untuk tolong-menolong dalam hal kebaikan. Kata (البر) dalam ayat tersebut bersifat umum: mencakup segala hal kebaikan,[42] dan berlaku umum kepada semua pihak, berprilaku baik (interaksi sosial) yang menentramkan hati dan bermanfaat.[43] Ayat tersebut tidak menyebutkan bahwa berprilaku baik hanya pada antar sesama Muslim, golongan dan individu.
Tidak ada alasan dalam mengabaikan perdamaian dan kerukunan antar umat beragama dalam konteks kehidupan sosial secara umum. Oleh karena membesar-besarkan perbedaan merupakan sesuatu yang mempersempit pola hidup sosial: interaksi sosial, yang pada akhirnya akan merugikan diri sendiri. Kerukunan antar umat beragama seharusnya lebih ditumbuh-kembangkan pada tingkatan-tingkatan non-teologis sentral, sebagaimana yang diteorikan Tarmizi Taher.[44]
Selain itu, dalam menyokong suksesi perdamaian antar umat beragama diperlukan suatu sikap respeksibel dan toleransi terhadap ragam perbedaan yang terdapat dalam suatu agama, ras, budaya, dan lain semacamnya. Dengan begitu, diharapkan terciptanya kehidupan sosial-keagamaan yang harmonis, rukun dan husnu al-ta’a>mul. Harmonisasi sosial akan melahirkan peradaban yang gemilang.
Hubungan Internal Muslim
إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ إِخۡوَةٞ فَأَصۡلِحُواْ بَيۡنَ أَخَوَيۡكُمۡۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمۡ تُرۡحَمُونَ ١٠
Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. (QS. al-H}ujara>t [49] : 10)
Ayat tersebut mencerminkan bahwa kaum muslimin hendaknya bersatu-padu dalam membangun perdamaian dan peradaban Islami. Dalam melihat ayat tersebut, ‘Abdulla>h Khayya>t} mengatakan bahwa apabila seorang muslim terdapat perselisihan (permusuhan), maka hendaklah diselesaikan dengan cara-cara terbaik.[45] Dalam QS. al-Taubah [9] : 71 Allah Swt., juga menyebutkan bahwa orang mukmin adalah bersaudara dan seharusnya saling tolong-menolong di Antara mereka.
Selain ayat-ayat al-Qur’an di atas, terdapat beberapa hadis Nabi yang juga mencerminkan tentang perlunya satu-kesatuan umat mukmin. Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara.[46] Dalam hadis Nabi juga disebutkan bahwa orang mukmin ibarat satu tubuh, apabila satu anggota merasa sakit maka yang lain juga merasa sakit.[47] Selain itu, hadis yang esensinya sama menyatakan bahwa umat Islam seperti bangun yang saling menguatkan.[48]Hadis-hadis di atas menggambarkan suatu model hubungan internal yang harmonis yang diinginkan Islam.
Perbedaan di kalangan umat Islam terjadi karena dua sebab, yaitu; khuluqiyah dan ideologis. Sebab khuluqiyah (etika) meliputi ujub, buruk sangka pada pihak lain, cinta dunia dan mengikuti hawa nafsu, fanatik mazhab dan fanatisme golongan. Sedangkan sebab yang kedua adalah masalah ilmiah, meliputi furu’iyah syari’ah maupun murni masalah fikih dan masalah amaliyah.[49] Perbedaan yang muncul akibat hal-hal demikian merupakan suatu perselisihan yang tercela.
Hubungan sosial menjadi tidak harmonis dan perpecahan disebabkan oleh: Pertama, Perbedaan pemahaman terhadap teks sumber ajaran Islam yang terbuka dan perbedaan interpretasi padanya. Kedua, Keragaman tuntunan ibadah dari Rasulullah. Ketiga, Perbedaan pengalaman interpretasi atas teks-teks sumber ajaran Islam.[50] Dalam rangka upaya harmonisasi sosial dapat dilalui melalui dua faktor, yaitu: internal dan eksternal. Faktor internal meliputi: Persaudaraan, Persamaan, Mewujudkan keutuhan dan keunggulan umat. Faktor eksternal meliputi: menghadapi ancaman, tantangan global, dan melawan kemungkaran dari kemusyrikan.[51]
Tarmizi Taher, sebagaimana dikutip oleh Asep Saefullah merumuskan teori harmonisasi antar umat beragama dengan strategi jangka pendek dan jangka panjang. Dalam mengharmoniskan umat beragama, pada strategi jangka pendek, ia membagi pada tiga fase: Pertama, memecahkan masalah-masalah yang dapat mempengaruhi kerukunan beragam. Kedua, menyelesaikan kecurigaan antar umat beragama. Ketiga, memperkuat seluruh umat beragama dalam persatuan dan kesatuan bangsa. Sedangkan pada strategi jangka panjang adalah dengan: Pertama, mempertahankan dan meningkatkan stabilitas kerukunan hidup umat beragama. Kedua, mendorong partisipasi berkelanjutan umat beragama dalam segala aspek. Ketiga, meningkatkan peran dan partisipasi umat beragama dalam kebangkitan nasional.[52]
Perlu dipahami bahwa, Islam merupakan agama yang satu. Al-Qur’an yang satu merupakan kitab pedoman dalam beragama dan berprilaku. Namun, pada ranah pemaknaan al-Qur’an –ketika akal dengan segala kompleksitasnya- menjadi beragam. Perbedaan pemahaman terhadap al-Qur’an merupakan realitas yang tidak bisa dielakkan. Pengaruh tingkat kemampuan berfikir, lingkungan sosial, budaya dan politik, merupakan akan terintrodusir pada subuah interpretasi teks. Para ulama imam mazhab, misalnya, Syafi’i, Hanafi, Hambali, Maliki, berbeda pendapat dalam memahami teks yang satu (al-Qur’an). Tentu perbedaan itu adalah sah.
Perbedaan pemahaman terhadap teks pedoman Islam, akan melahirkan perbedaan mazhab, aliran, dan cara mengamalkan keagamaan. NU dan Muhammadiyah, Ahmadiyah, Salafiyah, HTI, FPI, Persi, Jamaah Tabligh, dan semacamnya, merupakan realitas perbedaan dalam pemahaman terhadap ajaran Islam. Namun, jika ditanya tentang pedoman yang mereka pakai dalam memahami Islam, pemuka atau pengikut aliran-aliran tersebut akan sepakat bahwa al-Qur’an adalah pedomannya.
Perbedaan-perbedaan yang muncul, baik dalam intern umat Islam maupun yang bersifat ekstern merupakan sebuah keniscayaan yang seharusnya disikapi secara wajar, bijak dan toleran. Karena pada dasarnya, kita mengikuti Islam yang satu. Tidak ada Islam milik individu, kelompok tertentu dan –bahkan- wilayah tertentu. Islam-mu, Islam-ku merupakan Islam kita, yang sama dan yang satu.
Restorasi Nilai Keislaman: Sebuah Epilog
Dari berbagai kajian di atas, dengan pendekatan al-Qur’an sebagai pedoman pokok beragama (Islam), dapat diambil kesimpulan bahwa Islam merupakan agama cinta kedamaian yang toleran dan meletakkan nilai-nilai kemanusiaan sebagai pondasi ideal fundamental serta menghormati perbedaan. Selama tidak bersangkutan dengan nilai-nilai akidah, Islam bertoleransi tinggi: menghormati sesama umat manusia.
Kesimpulan ini berdasarkan teks-teks al-Qur’an dalam surah al-Baqarah [2] ayat 256, al-Kahfi [18] ayat 29 dan surah Yu>nus [10] ayat 99, yang secara tegas menerangkan tentang kebebasan beragama. Selain itu, pada ranah toleransi umat manusia terdapat pada al-Qur’an surah al-Taubah [9] ayat 6, al-H{ujura>t [49] ayat 11 dan ayat 13, al-Anbiya>’ [21] ayat 107, al-Anfa>l [8] ayat61, dan al-Mu’minu>n [23] ayat 96.
Setelah melihat kajian-kajian di atas, maka dirasa perlu: Pertama, Berkontemplasi ulang terhadap pemahaman keislaman yang telah dipahami dan dijalani selama ini. Kedua, Membuka cakrawala berfikir, bahwa Islam tidak dipahami dan mengedepankan eksklusivisme. Ketiga, Umat Islam seharusnya mengawal sikap toleran dalam menyikapi keberagaman: agama, golongan, ras, budaya, dan lain semacamnya. Kekerasan dan intoleran bukanlah sikap yang Islami.
___________________________________
[1]Ian Reader, Religious Violence in Contemporary Japan: The Case of Aum Shinrikyo (Japan: Curzon Press, 2000), 30.
[2]Tim Penyusun The Wahid Institute, “Laporan Tahunan Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan dan Intoleransi” (2014) : 21-22.
Didownload dari https://www.google.com/url?q=http://wahidinstitute.org/wi-id/images/upload/dokumen/laporan%2520kbb%25202014%2520-%2520the%2520wahid%2520institute.pdf&sa=U&ved=0ahUKEwip3u645ZbKAhVGA44KHaISAiQQFggKMAI&client=internal-uds-cse&usg=AFQjCNGnKhV-FB_0K8lA0bcmT-PMtrIrXg. Diakses pada 7 Januari 2016.
[3]Aksi-aksi yang dilakukan adalah membatasi/melarang/menyegel rumah ibadah, kriminalisasi atas dasar agama, diskriminasi atas dasar agama, melarang/menghentikan kegiatan keagamaan, pemaksaan keyakinan, dan intimidasi serta ancaman terhadap kelompok agama tertentu. Selengkapnya lihat dalam, Tim Penyusun The Wahid Institute, “Laporan Tahunan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan Intoleransi.”
[4]Selengkapnya Lihat, Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1992), 390. Dari sudut pemahaman kebahasaan, Isla>m (sebagaimana tercermin dari beberapa ayat al-Quran) merupakan agama perdamaian (QS. al-Anfa>l [8] : 61, QS. al-H{ujura>t [49] : 9), memberikan perlindungan, keselamatan dan kesejahteraan (QS. al-Taubah [9] : 6, al-Anbiya>’ [21] ayat 107, QS. Maryam [19] : 47), menyerahkan diri (QS. al-Nisa>’ [4] : 125, QS. al-An’a>m [6] : 162, QS. A<li ‘Imra>n [3] : 83, QS. al-S{a>ffa>t [37] : 26, QS. al-Baqarah [2] : 208). Nilai-nilai luhur konsepsi agama Islam teraktualisasi dalam konsep-konsepnya tentang istih}sa>n (kebaikan) dan istisla>h} (kemaslahatan).
[6]Ahmad Fuad Fanani, Islam Mazhab Kritis: Menggagas Keberagamaan Liberatif (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2004), 58 lihat pula pada halaman 202-203.
[7]Mus}t}afa> al-Mara>ghi, Tafsi>r al-Mara>ghi>: al-Juz’u al-Sa>bi’ ‘Ashar (Mesir: Mus}t}afa> al-Ba>bi>, 1946), 78. Bandingkan dengan, Abd Alla>h al-I<ji> al-Shi>ra>zi>, Ja>mi’ al-Baya>n fi> Tafsi>r al-Qur’a>n (Bairut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2004), 38.
[8]M. Fathullah Gulen, Toward a Global Civilization of Love and Tolerance (New Jersey: The Light, 2004), 59.
Didownload dari http://fethullahgulenconference.org/resources/books/tolerance.pdf pada 5 Januari 2016.
[9]M. Arfan Mu’ammar, dkk., Studi Islam Perspektif Insider/Outsider (Jogjakarta: IRCiSoD, 2012), 480.
[10]M. Arfan Mu’ammar, dkk., Studi Islam Perspektif Insider/Outsider, 481.
[11]Ahmad Fuad Fanani, Islam Mazhab Kritis: Menggagas Keberagamaan Liberatif, 203.
[12]Muhammad ‘Ali> al-S}a>bu>ni>, Mukhtas}ar Tafsi>r ibn Kathi>r: al-Mujallid al-Tha>ni> (Bairut: Da>r al-Qur’a>n al-Kari>m, 1981), 352.
[13]Al-Zamakhshari>, Tafsi>r al-Kashsha>f (Bairut: Da>r al-Ma’rifah, 2009), 588.
[14]Al-Baghawi>, Tafsi>r al-Baghawi> Ma’a>lim al-Tanzi>l: al-Mujallid al-Kha>mis (Riyad}: Da>r T{ayyibah, 1411 H.), 52.
[15]Muh}ammad al-Jauzi>, Za>d al-Masi>r fi> ‘Ilm al-Tafsi>r: al-Juz’ al-Ra>bi’ (Bairut: al-Maktabah al-Isla>miyah, 1984), 506.
[16]Lihat, Al-Qurtubi>, al-Ja>mi’ li Ah}ka>m al-Qur’a>n: al-Juz al-Tha>ni> ‘Ashar (Bairut: Mu’assasah al-Risa>lah,2006), 461.
[17]Azyumardi Azra, et. al., Nilai-Nilai Pluralisme dalam Islam: Bingkai Gagasan yang Berserak (Bandung: Nusantara, 2005), 151-152.
[18]Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme, 58.
[19]Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto, Teori-Teori Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, 2005), 95.
[20]Baca, Selvie M. Tumengkol, “Teori Sosiologi Suatu Perspektif tentang Teori Konflik dalam Masyarakat Industri.” Karya Ilmiah Universitas Sam Ratulangi Manado (2012) : 14.
[21]Baca, Anton van Harskamp, Konflik-Konflik dalam Ilmu Sosial, terj. Bern. Hidayat (Yogyakarta: Kanisius, 2005), 29-30.
[22]Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI Tahun 2012, Tafsir Al-Qur’an Tematik, Seri 4: Moderasi Islam (Jakarta Timur: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2012), 59.
[23]M. Arfan Mu’ammar, dkk., Studi Islam Perspektif Insider/Outsider, 480.
[24]Azyumardi Azra, et. al., Nilai-Nilai Pluralisme dalam Islam: Bingkai Gagasan yang Berserak, 149-150.
[25]Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme (Jakarta Selatan: Fitrah, 2007), 177.
[26]Lihat, Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI Tahun 2012, Tafsir Al-Qur’an Tematik, Seri 4: Moderasi Islam, 35.
[27]Memupuk fanatisme dan sentimental yang berlebihan terhadap suatu keyakinan akan menghancurkan kerukunan dan kebersamaan umat manusia. Sebagai makhluk sosial dibutuhkan adanya interaksi sosial yang baik dan harmonis. Tolong-menolong dan tenggang rasa merupakan bagian merawat kerukunan umat manusia. Namun, yang perlu diperhatikan adalah jika menyangkut akidah dan keyakinan, sebagaimana yang digariskan dalam QS. Al-Ka>firu>n [109] : 1-6. Selengkapnya lihat, Al-Suyu>t}i, Luba>b al-Nuqu>l fi> Asba>b al-Nuzu>l (Bairut: Muassasah al-Kutub al-Thaqa>fiyah, 2002), 310.
[28]Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme, 180.
[29]Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme, 180.
[30]Asep Syaefullah, Merukunkan Umat Beragama (Jakarta Selatan: Grafindo Khazanah Ilmu), 96.
[31]Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI Tahun 2013, Tafsir Al-Qur’an Tematik, Seri 1: Sinergitas Internal Umat Islam (Jakarta Timur: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2013), 115.
[32]Kunjungi, John Esposito, “ Islam and violence”. http://www.commongroundnews.org/article.php?id=20801&lan=en&sid=1&sp=1&isNew=0, diakses pada 5 Januari 2016 M.
[33]M. Fathullah Gulen, Toward a Global Civilization of Love and Tolerance, 76.
[34]Muh}ammad T{a>hir bin ‘A<shu>r, Tafsi>r al-Tah}ri>r wa al-Tanwi>r: al-Juz’ al-Tha>lith (Tunis: Da>r al-Tu>nisiyah, 1984), 26.
[35]Selengkapnya lihat, Muh}ammad T{a>hir bin ‘A<shu>r, Tafsi>r al-Tah}ri>r wa al-Tanwi>r: al-Juz’ al-Tha>lith, 26-27.
[37]Lihat, QS. Yu>nus [10] : 99
[38]Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme, 317.
[42]Wahbah Zuh}aili, al-Tafsi>r al-Muni>r fi> al-‘Aqi>dah wa al-Syari>’ah wa al-Manhaj: al-Mujallid al-Tha>lith (Damaskus: Da>r al-Fikr, 2009), 413.
[43]Muhammad ‘Abduh, Tafsi>r al-Qur’a>n al-H{aki>m: al-Juz’u al-Sa>dis (Mesir: Da>r al-Mana>r, 1367 H.), 130-131.
[44]Lihat, Asep Syaefullah, Merukunkan Umat Beragama, 150.
[45]‘Abdulla>h Khayya>t}, al-Tafsi>r al-Muyassar: al-Juz’ al-Tha>lith (Jidah: Maktabah al-Naja>h, tt.), 45. Bandingkan dengan, Imam al-Tha’labi>, al-Kashf wa al-Baya>n: al-Juz’ al-Ta>si’ (Bairut: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>th al-‘Arabi>, 2002), 79.
[46]Lihat, QS. Al-H{ujura>t [49] : 10
[47]Lihat, Muslim bin al-Hajja>j, S{ah}i>h} Muslim (Bairut: Da>r al-Fikr, 2003), 1278.
[48]Lihat, Muh}ammad Isma>’i>l al-Bukha>ri>, S{ah}i>h} al-Bukha>ri> (Bairut: Da>r ibn Kathi>r, tt.), 2242.
[49]Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI Tahun 2013, Tafsir Al-Qur’an Tematik, Seri 1: Sinergitas Internal Umat Islam, 130.
[50]Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI Tahun 2013, Tafsir Al-Qur’an Tematik, Seri 1: Sinergitas Internal Umat Islam,130-149s
[51]Teori-teori tersebut diramu dari Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI Tahun 2013, Tafsir Al-Qur’an Tematik, Seri 1: Sinergitas Internal Umat Islam.
[52]Lihat, Asep Syaefullah, Merukunkan Umat Beragama, 186-187.
Daftar Rujukan:
Buku dan Karya Ilmiah
‘Abduh, Muhammad. Tafsi>r al-Qur’a>n al-H{aki>m: al-Juz’u al-Sa>dis. Mesir: Da>r al-Mana>r, 1367 H.
Al-Baghawi>. Tafsi>r al-Baghawi> Ma’a>lim al-Tanzi>l: al-Mujallid al-Kha>mis.Riyad}: Da>r T{ayyibah, 1411 H.
Al-Bukha>ri>, Muh}ammad Isma>’i>l. S{ah}i>h} al-Bukha>ri>. Bairut: Da>r ibn Kathi>r, tt.
Al-Jauzi>, Muh}ammad. Za>d al-Masi>r fi> ‘Ilm al-Tafsi>r: al-Juz’ al-Ra>bi’.Bairut: al-Maktabah al-Isla>miyah, 1984.
Al-Mara>ghi, Mus}t}afa>. Tafsi>r al-Mara>ghi>: al-Juz’u al-Sa>bi’ ‘Ashar. Mesir: Mus}t}afa> al-Ba>bi>, 1946.
Al-S}a>bu>ni, Muhammad ‘Ali> >. Mukhtas}ar Tafsi>r ibn Kathi>r: al-Mujallid al-Tha>ni>. Bairut: Da>r al-Qur’a>n al-Kari>m, 1981.
Al-Shi>ra>zi, Abd Alla>h al-I<ji> >. Ja>mi’ al-Baya>n fi> Tafsi>r al-Qur’a>n.Bairut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2004.
Al-Suyu>t}i. Luba>b al-Nuqu>l fi> Asba>b al-Nuzu>l. Bairut: Muassasah al-Kutub al-Thaqa>fiyah, 2002.
Al-Tha’labi>, Imam. al-Kashf wa al-Baya>n: al-Juz’ al-Ta>si’. Bairut: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>th al-‘Arabi>, 2002.
Al-Qurtubi>. al-Ja>mi’ li Ah}ka>m al-Qur’a>n: al-Juz al-Tha>ni> ‘Ashar. Bairut: Mu’assasah al-Risa>lah, 2006.
Al-Zamakhshari>. Tafsi>r al-Kashsha>f. Bairut: Da>r al-Ma’rifah, 2009.
Azra, Azyumardi, et. al. Nilai-Nilai Pluralisme dalam Islam: Bingkai Gagasan yang Berserak. Bandung: Nusantara, 2005.
Fanani, Ahmad Fuad. Islam Mazhab Kritis: Menggagas Keberagamaan Liberatif.Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2004.
Gulen, M. Fathullah. Toward a Global Civilization of Love and Tolerance. New Jersey: The Light, 2004.
Harskamp, Anton van. Konflik-Konflik dalam Ilmu Sosial, terj. Bern. Hidayat. Yogyakarta: Kanisius, 2005.
Khayya>t}, ‘Abdulla>h. al-Tafsi>r al-Muyassar: al-Juz’ al-Tha>lith. Jidah: Maktabah al-Naja>h, tt.
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI Tahun 2012. Tafsir Al-Qur’an Tematik, Seri 4: Moderasi Islam.Jakarta Timur: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2012.
……...Tafsir Al-Qur’an Tematik, Seri 1: Sinergitas Internal Umat Islam. Jakarta Timur: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2013.
Madjid, Nurcholish. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina, 1992.
Misrawi, Zuhairi. Al-Qur’an Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme. Jakarta Selatan: Fitrah, 2007.
Mu’ammar, M. Arfan dkk. Studi Islam Perspektif Insider/Outsider. Jogjakarta: IRCiSoD, 2012.
Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto. Teori-Teori Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius, 2005.
Muslim bin al-Hajja>j. S{ah}i>h} Muslim. Bairut: Da>r al-Fikr, 2003.
Reader, Ian, Religious Violence in Contemporary Japan: The Case of Aum Shinrikyo. Japan: Curzon Press, 2000.
Syaefullah, Asep. Merukunkan Umat Beragama. Jakarta Selatan: Grafindo Khazanah Ilmu, 2007.
T{a>hir bin ‘A<shu>r, Muh}ammad. Tafsi>r al-Tah}ri>r wa al-Tanwi>r: al-Juz’ al-Tha>lith. Tunis: Da>r al-Tu>nisiyah, 1984.
Tim Penyusun The Wahid Institute. “Laporan Tahunan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan Intoleransi”. 2014.
Tumengkol, Selvie M. “Teori Sosiologi Suatu Perspektif tentang Teori Konflik dalam Masyarakat Industri.” Karya Ilmiah Universitas Sam Ratulangi Manado. 2012.
Zuh}aili, Wahbah. al-Tafsi>r al-Muni>r fi> al-‘Aqi>dah wa al-Syari>’ah wa al-Manhaj: al-Mujallid al-Tha>lith. Damaskus: Da>r al-Fikr, 2009.
Web
0 comments:
Post a Comment